TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kualitas utang Indonesia kembali mendapat penilaian. Lembaga pemeringkat Moody's Investor Service (Moody's) meningkatkan Sovereign Credit Rating (SCR) Republik Indonesia dari Baa3/Outlook Positif menjadi Baa2/Outlook Stabil pekan ini.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengatakan, kenaikan tersebut membuktikan Pemerintah dan Bank Indonesia sangat kredibel mengelola utang.
"Ini menjadi bukti bahwa Presiden Jokowi kredibel dan pruden dalam mengelola utang," ujar Juru Bicara PSI Bidang Ekonomi dan Bisnis, Rizal Calvary M dalam keterangannya, Sabtu (14/4/2018).
Rizal mengatakan, kenaikan tersebut merupakan cerminan kredibilitas penyelenggara kebijakan terkait utang dan efektif mendorong stabilitas makro ekonomi.
"Ini yang menilai positif Moody's, bukan kami, bahwa pemerintahan sebelumnya sampai pemerintahan Jokowi-JK mampu menjaga defisit fiskal di bawah batas 3 persen sejak 2003. Defisit dapat dipertahankan di level rendah dan didukung oleh pembiayaan yang bersifat jangka panjang dapat menjaga beban utang tetap rendah sehingga mengurangi kebutuhan dan risiko pembiayaan," ucap Rizal.
Baca: Setelah Terungkap Napi Terlibat Pemerasan, Kini Beredar Video Napi Pegang Ponsel di dalam Tahanan
Selain pemerintah, PSI juga mengapresiasi kinerja Bank Indonesia (BI).
Bank Indonesia mampu menjalankan tugasnya di wilayah moneter sehingga stabilitas makro ekonomi terjaga dengan baik.
"Ada kebijakan nilai tukar yang fleksibel, berkat kerja sama yang cantik antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan BI, inflasi terjaga di level yang cukup rendah dan stabil," ujar Rizal.
Sebelumnya, Moody's juga memperbaiki outlook SCR Republik Indonesia dari Stable menjadi Positive, sekaligus mengafirmasi rating pada Baa3 (Investment Grade) pada 8 Februari 2017.
PSI menilai, saat ini kondisi keseimbangan primer atau primary balance Indonesia, terus membaik.
"Memang dalam primary balance, pendapatan dengan pengeluaran pemerintah masih defisit. Defisit itu biasa, hanya sedikit negara yang enggak defisit, sehingga pemerintah mencari utangan untuk menutupi itu. Yang penting kondisinya terus membaik dan terkelola dengan baik," papar Rizal.
Baca: Pemuda yang Terekam Mesum dengan Pasangannya Bikin Ulah, CCTV Masjid Dirusak
Sebagaimana diketahui, sebagian besar negara mengalami defisit anggaran.
Negara seperti China mengalami defisit anggaran 2,74 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Lalu India sebesar 7,1 persen PDB, sedangkan Malaysia 3,03 persen PDB.
Negara berkembang seperti Vietnam mengalami defisit anggaran hingga 6,5 persen PDB, Polandia 2,9 persen PDB, Argentina 7,3 PDB, sedangkan Kolombia 2,84 persen PDB.
"Jadi defisit kita aman 3 persenan. Bahkan Qatar negara kaya minyak defisit sampai 10 persen. Norwegia 5 persen, Brasil 10 persen," kata Rizal.
Sesat
Menurut Rizal, saat ini banyak pihak melihat utang dari nominalnya saja.
"Ini cara pandang yang sesat, tidak melihat utang dari progresifitas dan kapasitas ekonomi. Ini seperti anak SD melihat utang ayahnya atau utang perusahaan ayahnya. Kaget-kaget dia. Jadi, ukurannya adalah PDB," ujarnya.
Baca: Guru SMK di Balikpapan Tewas Digorok Adik Ipar
Rizal mengatakan rasio utang tertinggi atas PDB pernah terjadi di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Nilai utang pemerintah saat itu sebesar Rp 1.232,8 triliun dengan rasionya menjadi 88,7 persen terhadap PDB.
"Sudah sebesar 88,7 persen terhadap PDB, toh juga tidak seribut zaman Pak Jokowi yang hanya 27 persen atas PDB. Setelah masa itu, rasio utang pemerintah atas PDB mengalami tren penurunan. Sampai saat ini masih dibawah 30 persen. Rasio utang saat Pak Harto lengser sebesar 57,7 persen dari PDB, dilanjutkan zaman Pak Habibie menjadi 85,4 persen atas PDB. Bandingkan dengan saat ini yang hanya 27 persen," ucap dia.