Pipa minyak bawah laut milik Pertamina yang mengalami kebocoran di perairan Teluk Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur beberapa waktu yang lalu, disinyalir oleh Anggota Komisi V DPR RI Bambang Haryo Soekartono sebagai pipa ilegal.
Sebab berdasarkan peraturan yang berlaku, seharusnya pipa-pipa tersebut ditanam dibawah seabed atau dasar permukaan laut yang paling keras.
“Mengingat perairan itu adalah alur laut bagi kapal-kapal internasional, maka pipa minyak Pertamina itu seharusnya ditanam sedalam 4 sampai 5 meter dibawah seabed. Dengan demikian jangkar kapal tidak bisa mencapai posisi tersebut,” ujar Bambang Haryo di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (12/4/2018).
Bambang menyampaikan, beberapa waktu yang lalu sempat beredar kabar tentang adanya penyelundupan minyak Pertamina. Penyelundupan itu dilakukan melalui pipa bawah laut, yang kemudian dibawa ke kapal tanker.
Dalam kabar yang ia terima itu, disebutkan bahwa yang menjadi kapten kapal tanker itu adalah mantan kapten kapal Pertamina sendiri.
“Dahulu pernah ada kasus pipa abal-abal yang digunakan untuk mencuri minyak Pertamina, yakni pencurian dengan modus illegal tapping atau pencurian minyak dengan cara melubangi pipa penyaluran pusat atau penyaluran utama dari Pertamina,” paparnya.
Politisi Partai Gerindra itu menduga, ada kemungkinan terjadi illegal tapping pada kejadian bocornya pipa minyak bawah laut Pertamina di Teluk Balikpapan, Kaltim. Sebab menurutnya pipa-pipa yang bocor tersebut tidak dalam posisi ditanam di bawah seabed.
Sementara menurut aturan internasional, kalau pipa yang legal pasti akan ditanam di bawah seabed.
Bambang juga meragukan pernyataan bahwa pipa yang bocor itu akibat terkena jangkar kapal. Sebab, kalau pipa itu legal dan ditanam dibawah seabed, maka jangkar tidak bisa mengenai pipa, kecuali kalau diameter ukuran pipanya kecil.
“Kalau pipa berdiameter besar tidak mungkin akan terkait oleh jangkar. Dan area tempat terjadinya kebocoran di Teluk Balikpapan itu juga bukan area lego jangkar,” tutur Bambang.
Politisi dapil Jawa Timur itu menegaskan, bila Pertamina mengatakan itu adalah pipa legal, maka Pertamina harus bertanggungjawab terhadap hal itu. Sebab dengan tidak ditanamnya pipa tersebut, ada sanksi yang bisa diterapkan kepada Pertamina.
Dalam kasus tersebut, Bambang melihat lambatnya proses penanganan pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah.
“Ketika tumpahan minyak itu menyebar di laut, hal itu sangat berbahaya, karena bisa menyebabkan terjadinya kebakaran hebat yang meluas. Seperti yang diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, jika terjadi tumpahan minyak dilaut maka harus segera diisolir dengan menggunakan oil boom. Sanksi bagi Pertamina terkait peristiwa ini harus tegas, karena sudah menyebabkan kerusakan lingkungan dan menimbulkan korban jiwa,” pungkas Bambang.(*)