Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menegaskan tidak benar Indonesia akan dilanda gelombang panas mematikan.
Demikian tanggapan Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Herizal terhadap berita yang beredar di masyarakat pada laman online Deutsche Welle (DW) Indonesia yang berjudul "Indonesia Akan Didera Gelombang Panas Mematikan."
Baca: Adhi Persada Properti Bidik Potensi Market Pebisnis Asia Pasifik
Tanggapan resmi BMKG, "berita tersebut adalah berita daur ulang yang sudah pernah terbit pada 20 Juni 2017 lalu."
"Artikel yang ditulis DW Indonesia tersebut didasarkan pada paper ilmiah Camilo Mora et al. (Univ. of Hawai) yang terbit di Jurnal Nature Climate Change Juni 2017 lalu berjudul "Global risk of deadly heat" (www.nature.com/articles/nclimate3322)," jelas Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal dalam laman BMKG, Jumat (20/4/2018).
Dia menjelaskan, paper tersebut mengkaji naiknya risiko ketakmampuan kapasitas tubuh manusia bertahan terhadap panas (thermoregulatory) akibat kenaikan temperatur perubahan iklim.
Kajian menggunakan data kasus kematian terkait gelombang panas (heat waves) dari tahun 1980 - 2014 dan menemukan 783 kasus kejadian gelombang panas berdampak kematian dari 164 kota di 36 negara.
Hasilnya, dengan menghitung indeks threshold global suhu harian udara permukaan dan kelembaban udara (RH) yang menjadi pemicu kematian pada kejadian gelombang panas ditemukan 30% penduduk bumi saat ini terpapar threshold global suhu dan RH tersebut, setidaknya 20 hari dlm setahun.
Proyeksi iklim pada akhir abad 21 (2090 - 2100), dari 30% tersebut akan meningkat menjadi ~48% dibawah skenario penurunan drastis pengendalian emisi GRK (RCP2.6) dan ~74% dibawah skenario pertumbuhan emisi GRK tanpa pengendalian (RCP8.5).
Hal itu meningkatkan ancaman bagi kehidupan manusia akibat peningkatan suhu global dan berdampak besar bila GRK tidak dikurangi emisinya, meskipun saat ini belum tampak nyata dampaknya.
Lebih jauh kata dia, pemberitaan DW Indonesia dengan judul yang bombastis dengan kesan terkonsentrasi pada dampak besar yang akan terjadi di Indonesia sebenarnya tidak cukup relevan dengan kajian ilmiah paper Mora et al (2017) tersebut.
Hal itu dikarenakan, selain paper Mora et al (2017) lebih membahas pada skala global dan tidak menyebut Indonesia secara spesifik. Juga data kejadian gelombang panas yang dipakai sebagai dasar analisis dan pengambilan kesimpulan tidak ada satupun yang berasal dari Indonesia, sebagian besar data gelombang panas terjadi di Eropa dan Amerika Utara, sebagian kecil di India, China dan Australia.
"Indonesia tidak termasuk dari 164 kota 36 negara yang dikaji data gelombang panasnya dalam paper tersebut," tegasnya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia belum pernah mencatat terjadinya gelombang panas yang berdampak kematian.
Juga belum terdapat kajian dampak gelombang panas dengan menggunakan batas atas (threshold) suhu permukaan dan kelembaban udara tersebut terhadap fisiologi tubuh orang Indonesia (termasuk dalam paper ilmiah Mora et al, 2017).
"Bagi orang Indonesia threshold tersebut mungkin belum memberikan dampak mematikan," jelasnya. (*)