Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fx Ismanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengelolaan keuangan negara, termasuk sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, atau nama lain, atau yang lebih khusus lagi yang menyelenggarakan amanah konstitusional dalam Pasal 33 UUD 1945 haruslah “diatur dengan undang-undang”. Dengan demikian, sungguh tepat mekanisme pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan harus diatur dengan undang-undang. Bahkan pendapatan bagian laba Badan Usaha Miliki Negara (BUMN) pun diatur dengan UU yaitu dengan UU APBN yang ditetapkan setiap tahunnya.
Demikian ditegaskan oleh Prof. DR. Koerniatmanto Soetoprawiro SH, MH dari Universitas Katolik Parahyangan, Saksi Ahli dalam judicial review UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dengan No. Perkara 14/PUU-XVI/2018, dihadapan para hakim konstitusi, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (19/4/2018).
Judicial Review terhadap UU BUMN itu diajukan AM Putut Prabantoro dan Letjen TNI (Pur) Kiki Syahnakri dan didukung penuh oleh Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD). Sidang gugatan dengan fokus mendengar keterangan para saksi ahli dari pihak pemohon dihadiri oleh kedua pemohon, kuasa hukum pemohon Tim Advokasi Kedaulatan Ekonomi Indonesia (TAKEN), kuasa hukum pemerintah dan juga saksi ahli lain Ir. Bernaulus Saragih M.Sc, Ph. D dari Universitas Mulawarman. TAKEN terdiri dari Dr Iur Liona N. Supriatna, M.Hum, Hermawi Taslim, SH., Daniel T. Masiku, SH., Sandra Nangoy, SH., MH., Benny Sabdo Nugroho, SH., MH, Gregorius Retas Daeng, SH, Alvin Widanto Pratomo, SH. dan Bonifasius Falakhi, SH.
Para Pemohon mempermasalahakan Pasal 2 ayat 1 (a) dan (b) tentang maksud dan tujuan pendirian BUMN dan pasal 4 ayat 4 Perubahan Penyertaan Modal yang diatur dengan Peraturan Pemerintah yang terdapat dalam UU BUMN.
Dalam penjelasannya, Koerniatmanto menegaskan tentang Keuangan Negara , UUD NRI 1945 telah mengaturnya dalam Pasal 23c yang berbunyi “Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.” Perintah UUD itu diperkuat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 48/PUU-XI/2013, yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, dan menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara terhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memandang bahwa atas bunyi Pasal 23C UUD 1945 ini, terdapat “hal-hal lain mengenai keuangan negara” yang secara konstitusional diperintahkan untuk “diatur dengan undang-undang”.
Guru Besar Universitas Parahyangan itu mengatakan, dalam Putusan Nomor 48/PUU-XI/2013 tersebut di atas, MK memandang bahwa dengan demikian, selain secara konstitusional dikenal adanya mekanisme pengelolaan sebagaimana diatur dalam Pasal 23, dikenal pula mekanisme pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23C yang diperintahkan untuk diatur dengan Undang-Undang. Pasal 23C UUD 1945 ini kemudian menjadi dasar pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, tentang Keuangan Negara. Sedemikian luasnya pengertian keuangan negara, sehingga dalam perspektif pengelolaan keuangan negara tersebut dikelompokkan ke dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
Terkait dengan itu, jelas Koerniatmanto lebih lanjut, berdasarkan uraian tersebut BUMN, BUMD, atau nama lain, atau yang lebih khusus lagi yang menyelenggarakan amanah konstitusional sebagaimana termuat dalam Pasal 33 UUD 1945 adalah sebagai kepanjangan tangan dari negara dalam menjalankan sebagian dari fungsi negara untuk mencapai tujuan negara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum. MK lebih jauh berpandangan bahwa oleh karena itu dari perspektif modal, badan hukum atau nama lain yang sejenis, yang menjalankan sebagian dari fungsi negara tersebut, keuangan yang menjadi modalnya sebagian atau seluruhnya berasal dari keuangan negara. Dengan demikian dari perpektif ini dan fungsinya, badan hukum dimaksud tidak dapat sepenuhnya dianggap sebagai badan hukum privat.
Oleh karena itu, Guru Besar Universias Parahyangan itu menegaskan, pengelolaan keuangan negara, termasuk sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, atau nama lain, atau yang lebih khusus lagi yang menyelenggarakan amanah konstitusional dalam Pasal 33 UUD 1945 haruslah “diatur dengan undang-undang”.
“Dengan demikian, sungguh tepat mekanisme pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan harus diatur dengan undang-undang, bahkan pendapatan bagian laba BUMN (dividen) pun diatur dengan undang-undang yaitu dengan Undang-Undang APBN yang ditetapkan setiap tahunnya,” ujar Doktor Lulusan Universitas Airlangga.
Menurut saksi ahli lulusan Pascasarjana dari Universitas Padjajaran ini, Pasal 4 aya 4 UU BUMN merupakan penyelewengan atas makna Pasal 23C UUD 1945 yang mengamanatkan “diatur dengan undang-undang”, dan telah didegradasi menjadi “ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”.
Fakta yuridis yang nyata-nyata bertentangan secara konstitusional adalah diberlakukannya PP No. 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP No. 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas dimana pada Pasal 2A Ayat (1) dinyatakan bahwa: “Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.”
Terkait dengan maksud dan tujuan pendirian BUMN, Koerniatmanto merujuk pada butir [3.16] Keputusan MK dalam kasus Keuangan Negara, MK berpandangan bahwa ... “Selain itu, perluasan pengertian keuangan negara diderivasi dari konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang secara eksplisit dianut dalam UUD NRI 1945, yaitu Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea keempat, hingga ke pasal-pasal yang terdapat di dalamnya yakni, mencita-citakan pembentukan suatu Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan mampu memajukan kesejahteraan umum dan seterusnya. Besarnya peran dan fungsi BHMN PT atau BUMN/BUMD dalam mengelola keuangan negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, harus diiringi pula dengan penegasan bahwa pengelolaan terhadap sarana dan prasarana milik negara yang harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan paradigma yang berlaku.”
Oleh karena itu, diurai lebih lanjut, Pasal 2 ayat (1) huruf a dan b UU No. 19 Tahun 2003, tentang BUMN yang berbunyi: “Maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah (a) memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; dan (b) mengejar keuntungan”; harus dibaca dan dimaknai selaras dengan pandangan Mahkamah Konsititusi tersebut, yakni bahwa ”peran dan fungsi ... BUMN/BUMD dalam mengelola keuangan negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum harus diiringi pula dengan penegasan bahwa pengelolaan terhadap sarana dan prasarana milik negara yang harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan paradigma yang berlaku”.
Sebagai konsekuensinya, maksud dan tujuan BUMN butir b. mengejar keuntungan perlu dipertegas, bahwa hal ini demi mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Dalam konteks ini, saksi ahli membenarkan pernyataan salah satu pemohon, Letjen TNI (Purn.) Kiki Syahnakri, yang menyatakan bahwa maksud dan tujuan BUMN mengejar keuntungan itu merupakan frasa yang masih ‘KOMA’ dan belum TITIK, dan harus diikuti dengan frasa yang lain yang mencerminkan arah keuntungan BUMN tersebut harus dialirkan.
Guru Besar Universitas Parahyangan ini juga mengungkap bahwa, terkait dengan bunyi ketentuan Pasal 2 ayat 1 huruf (a) dan (b) UU BUMN ini baik ISI maupun PENJELASANNYA, sangat bias makna. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak dicantumkannya kata kemakmuran rakyat sebagaimana disebutkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, yang sesungguhnya merupakan landasan utama dari pembentukan UU BUMN itu sendiri.
Sebagai pembanding, oleh Koerniatmanto ditunjukan bahwa sebelum UU BUMN lahir, UU atau peraturan lain yang mengatur tentang cabang-cabang produksi milik negara yang berbentuk persero secara prinsipiil menggunakan konsep kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagai tujuan pendiriannya. Contoh, Pasal 5 UU No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina, Pasal 3 UU No.15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, Pasal 2 PP No. 10 tahun 1996 tentang pembentukan PT. Perkebunan Nusantara.
Bahkan terkait dengan pendirian Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Perusahaan Gas Negara (PGN) pada PP No. 19 tahun 1965, tegas sekali dinyatakan pada Pasal 6 dan 7, bahwa tujuan perseroan adalah mengutamakan kebutuhan rakyat menuju masyarakat yang adil dan makmur materiil dan spiritual serta mempertinggi derajat hidup masyarakat umum; suatu pernyataan yang terkait langsung dengan makna “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” yang dapat dimaknai dengan mempertinggi atau terus menerus meningkatkan kemakmuran / derajat hidup rakyat.
Penyimpangan terjadi dalam perkara a quo yang salah satu contoh penyimpangannya adalah ditetapkannya PP No 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas PP No. 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Pemerintah ini menyatakan bahwa: “Perusahaan Perseroan yang selanjutnya disebut Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.”
Dalam konsep kapitalisme, modal menentukan hidup matinya suatu perusahaan, yang artinya pada akhirnya berada di tangan para penguasa modal. Dalam konteks ini, maksud dan tujuan mengejar keuntungan itu jelas akan dialirkan ke para penguasa modal, yang mengarah ke nuansa privatisasi. Hal ini jelas tidak selaras dengan paradigma, bahwa BUMN itu di dalam mengelola keuangan negara adalah demi ataupun untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan bukan demi keuntungan para penguasa modal.
Sebaliknya, pandangan MK ini juga tidak bersifat sosialistik. Hal ini mengingat bahwa doktrin sosialis itu memandang bahwa modal harus dikuasai oleh kaum proletariat semata. Pandangan sosialis ini jelas berbeda dengan dengan pandangan MK yang memandang bahwa modal dan keuntungannya itu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Artinya berlawanan dengan konspen kapitalisme dan sosialisme, tidak terdapat nuansa diskriminatif yang menafikan salah satu golongan sosial warga masyarakat tertentu. Hal ini pada akhirnya selaras dengan bunyi Sila Kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Guru Besar Hukum Tata Negara ini juga menanggapi keterangan kuasa pemerintah yang menyatakan:
• “Peran BUMN sebagai agen pembangunan. Antara lain, kegiatan operasional yang bersentuhan langsung dengan pelayanan masyarakat dan tugas-tugas perintisan melalui pelaksanaan kegiatan usaha yang tidak visible, tidak diminati oleh swasta, dan sebagai agen pembangunan, misalnya pembangunan Tol Sumatera oleh PT Hutama Karya, sekali lagi kami tegaskan PT Hutama Karya adalah persero.
• Peningkatan rasio elektrifikasi oleh PT PLN per 31 Desember 2017 mencapai 93%. Kebijakan BBM satu harga di seluruh Indonesia yang dilakukan oleh PT Pertamina, pembangunan LRT, kemudian BRI membuka cabang di daerah-daerah pelosok, Telkom membangun BTS di daerah-daerah pelosok, Bulog melakukan penyediaan bahan pangan pokok seluruh Indonesia dengan harga yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pada tahun 2017, kontribusi BUMN kepada negara berupa dividen adalah Rp43 triliun dan pajak sebesar Rp194 triliun. Kontribusi BUMN terhadap perekonomian nasional berupa Kapex adalah Rp320 triliun. Kontribusi BUMN kepada masyarakat melalui program kemitraan sebesar Rp 1,943 triliun dan bina lingkungan adalah Rp1,67 triliun, dan melalui program CSR sebesar Rp739 miliar, itu hanya data di tahun 2017”.
“Terhadap dalil pihak termohon (Presiden/Pemerintah) tersebut hal tersebut seharusnya tidaklah berlaku insidentil seperti terurai di atas, melainkan haruslah permanen. Hal ini mengingat bahwa BUMN itu harusnya sehat dan hidup berkelanjutan guna mendukung gerakan perekonomian nasional yang dibangun di atas fondasi USAHA BERSAMA, berdasar atas asas KEKELUARGAAN yang dipergunakan untuk SEBESAR-BESARNYA KEMAKMURAN RAKYAT. Oleh karena itu, tujuan BUMN untuk mengejar keuntungan bukanlah tujuan utama melainkan alat untuk sustainabilitas usahanya dalam rangka melaksanakan amanat konstitusi untuk memakmurkan rakyat,” ujar Koerniatmanto.
Atas dasar paparan di atas, maka apabila modal BUMN itu pada akhirnya berasal dari kekayaan negara, hal ini harus diartikan, bahwa “keuntungan” itu harus dialirkan kembali ke Kas Negara dengan sebelumnya memperhitungkan biaya untuk mencapai kemakmuran rakyat di wilayah kerjanya. Dengan demikian, setiap BUMN di bawah pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat harus mempertanggungjawabkan tercapainya kemakmuran di wilayah kerjanya dan aliran keuntungan itu kepada Pemerintah sebagai penyelenggara negara. Dengan kata lain, parameter atau ukuran atas performa dan kinerja setiap BUMN itu adalah kemampuannya untuk tercapainya kemakmuran dan menyetor keuntungan kepada Kas Negara. Sebaliknya suatu BUMN yang setiap kali perlu disuntik dana segar dari keuangan negara atau APBN, perlu dilikuidasi atau paling tidak diaudit performa dan kinerjanya.
[21:38, 4/19/2018] PP: Prof. DR. Koerniatmanto Soetoprawiro SH, MH, Saksi Ahli pemohon Juducial Review atas UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN ke Mahkamah Konsitusi yang diajukan oleh AM Putut Prabantoro dan Letjen TNI (Pur) Kiki Syahnakri.