TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dan pekerja rawan konflik, khususnya jika terjadi masalah pemutusan hubungan kerja, upah, waktu kerja dan kepentingan lainnya.
Demikian Dr Anwar Budiman SH MH dalam disertasinya yang berhasil ia pertahankan berjudul, “Penerapan Asas Keseimbangan dalam Perlindungan Hukum terhadap Pelaksanaan Perjanjian Kerja: Mekanisme Perjanjian Kerja pada Perusahaan Sektor Otomotif di Indonesia”, dalam sidang senat terbuka promosi doktor ilmu hukum di Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Jakarta, Rabu (2/5/2018).
Sidang dipimpin Ketua Tim Penguji Prof Dr Iman Santoso, dengan Promotor Prof Dr Abdullah Sulaiman, dan penyanggah antara lain Dr Firman Wijaya yang juga dikenal sebagai advokat.
Hadir pula sejumlah pengurus relawan “Gerakan Cinta Jokowi”, di antaranya DR Abraham C Hutapea dan Sugeng Suharno. Anwar dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude (sangat memuaskan).
Di luar sidang, karangan bunga ucapan selamat untuk Anwar Budiman berderet di antaranya dari Menteri Dalam Negeri Thahjo Kumolo, Ketua Badan Anggaran DPR RI Aziz Syamsuddin, Ketua Setara Institute Hendardi.
Pengaturan perjanjian kerja, kata Anwar Budiman, terdapat dalam Pasal 56-66 Undang-Undang (UU) No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Namun, ketentuan tersebut masih kurang sempurna mengingat format perjanjian kerja itu tidak diatur dengan jelas, padahal ketentuan ini sangat penting untuk melindungi hak pekerja. Ketentuan dalam perjanjian menjadi tidak patut atau tidak adil bila terbentuk pada suatu hubungan yang tak seimbang,” jelas pria low profile kelahiran Jakarta 1970 ini.
Menurut Anwar, keseimbangan para pihak dalam perjanjian dengan kedudukan yang sederajat hampir tidak pernah tercipta, contohnya perjanjian kredit antara pihak bank dan debitur, perjanjian antara pihak rumah sakit dan pasien, dan perjanjian antara pengusaha dan pekerja.
Pembuatan perjanjian di Indonesia melalui kesepakatan para pihak sebagaimana diatur Pasal 1320 KUHPerdata ialah untuk semua jenis perjanjian, namun untuk perjanjian kerja berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, tidak berarti telah menerapkan asas kebebasan berkontrak yang berlaku secara universal di seluruh dunia.
“Kesepakatan para pihak dalam perjanjian di Indonesia secara faktual lebih kepada menyetujui atau tidak menyetujui, seperti perjanjian antara majikan dan buruh,” jelasnya.
Anwar melihat masalah ketenagakerjaan di Indonesia cukup kompleks, terutama dalam pelaksanaan perjanjian kerja. Politik hukum perundang-undangan yang mengatur perjanjian kerja setelah kemerdekaan belum menemukan bentuk yang jelas dan tegas.
“Politik hukum ketenagakerjaan yang permanen (UUD 1945, nilai-nilai Pancasila dan kebiasaan) telah ada sejak awal kemerdekaan, namun penerapannya ternyata dipengaruhi oleh konstelasi politik setiap rezim pemerintahan. Politik hukum dalam dimensi pemberlakuannya dapat mendorong terbentuknya hukum yang elitis, yang diadakan untuk tujuan mendukung rezim yang berkuasa.
Oleh karena itu, politik hukum sebaiknya didasarkan pada kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakuan secara rasional dan seimbang, sehingga implementasi peraturan tersebut mengakomodir kepentingan semua pihak,” paparnya.
Perlindungan hukum dalam perjanjian kerja pada perusahaan sektor otomotif di Indonesia sebagaimana diatur UU Ketenagakerjaan, lanjut Anwar, bertujuan menjamin berlangsungnya hubungan kerja yang harmonis antara pekerja dan pengusaha tanpa tekanan dari pihak yang kuat.
“Sebab itu pengusaha yang secara sosio-ekonomi memiliki kedudukan kuat wajib membantu melaksanakan ketentuan perlindungan tersebut sesuai aturan. Perlindungan kerja dapat dilakukan dengan memberikan tuntunan, santunan, maupun meningkatkan pengakuan hak-hak asasi manusia, serta perlindungan fisik dan sosial ekonomi melalui norma yang berlaku di perusahaan,” tandasnya.