Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fx Ismanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Enam saksi meringankan dihadirkan dalam sidang lanjutan kasus program pendidikan Sekolah Tinggi Teologia Injili Arastamar (STT Setia), dengan terdakwa dua petinggi STT Setia di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rabu (9/5/2018)
Sidang yang ke -14 kasus STT Setia itu, seperti sidang sidang sebelumnya, masih dihadiri puluhan alumni dan siswa STT Setia serta pendukung kedua belah pihak yang bersengketa.
Dua petinggi STT Setia, yaitu Rektor Sekolah Tinggi Teologia Injili Arastamar (STT Setia), Matheus Mangentang dan Direktur STT Setia, Ernawaty Simbolon, yang menjadi terdakwa dalam kasus ini, juga hadir didampingi pengacaranya, Tommy Sihotang SH dan tim.
Para saksi sebanyak enam orang, tiga laki laki dan tiga perempuan, menyatakan, mereka menjadi siswa ke STT Setia untuk sekolah agama dan mengabdi di wilayah pedalaman. Kemudian ditawari menjadi guru SD untuk disalurkan ke sekolah sekolah di bawah naungan di STT Setia. Namun di antara lulusan mereka melamar menjadi guru negeri, dan menjadi PNS dan diterima.
“Saya mengajar di SD Negeri Tangerang. Saya menggunakan ijazah itu untuk mendaftar di UT, dan tidak dipersoalkan. Sekarang saya menjadi sarjana pendidikan, “ kata Elenora, seorang saksi.
Kami dikasi tahu bahwa ada program tambahan PGSD. Program itu untuk pelayanan di pedesaan, Karena di pedalaman tidak ada guru, kata saksi lainnya. Sebagai tanda selesai dapat sertifikat PGSD. “Saya pernah coba-coba daftar sebagai CPNS, saya diterima. Sekarang saya sudah PNS. Waktu itu kami diwajibkan mengikuti S1 di UT Makassar 2006 – 2009, “ tambah saksi lain itu.
Matheus Mangentang kepada wartawan yang mengkonfirmasi sebelumnya membantah bahwa ada 659 mahasiswa menjadi korban STT Setia. Yang benar justru ada 300 orang alumni STT Setia yang sudah jadi guru dan PNS di pedalaman, antara lain di Sulawesi, Kalimantan dan Papua. “Tidak benar adanya 569 korban itu. Justru sebaliknya, “ katanya.
Sebelumnya dipertanyakan juga, seputar program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) yang menjadi permasalahan dan disebut sebagai “program pelengkap”.
"Ernawaty Simbolon, selaku Direktur STT Setia, menjelaskan kepada majelis hakim bahwa ijazah yang dikeluarkan untuk keperluan pengabdian di wilayah terpencil bukan untuk keperluan melamar sebagai PNS. Diakuinya pengeluaran ijasah STT Setia tak sepengetahuan Dirjen Dikti.
Tommy Sihotang, kuasa hukum terdakwa mengatakan. "Siapa pun berhak menyelenggarakan pendidikan di Republik ini. Nanti izinnya diurus. Kok, dipidanakan, “ ujar Tommy Sihotang disela usai sidang.
Dan Tommy menyatakan, kasus STT Setia merupakan kriminalisasi penyelenggara pendidikan. “Pak Matheus tidak pernah menjanjikan lulusan sekolahnya jadi PNS. STT mendidikan pengajar untuk sekolah pedalaman dan pengabdian, bukan untuk melamar jadi PNS, “ tegasnya.
Ditambahkan, masalah ini tak perlu pidana, tapi cukup tindakan administrasi. Negara tidak boleh menghukum pidana selagi masih ada sangsi lain. “Pidana itu upaya terakhir, “ katanya.
Tommy meyakini, kasus ini bergulir, bukan karena program pendidikan dan ijazah, melainkan karena ada perebutan aset yayasan, yang nilainya mencapai ratusan miliar rupiah. “Yang mempersoalkan bukan pendiri Yayasan. Pendirian yayasan adalah Pak Matheus Mangentang. Bahkan dia itu mantan murid Pak Matheus, “ jelas Tommy Sihotang.
Sidang Perkara STT Setia akan dilanjutkan Senin depan dengan agenda persidangan penuntutan di pengadilan yang sama.