TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ada tiga 'pelaku' aksi teror (bom bunuh diri) di salah satu rumah ibadah di Surabaya.
Ketiga pelaku tewas.
Dua diantaranya adalah anak-anak.
Bisakah dua anak dimaksud disebut sebagai 'pelaku'?
Reza Indragiri Amriel dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) menilai Pasal 76C UU Perlindungan Anak melarang siapa pun menyuruh anak melakukan kekerasan.
Bertemu pasal 15 UU yang sama, salah satu hak anak adalah bebas dari perlibatan dalam aksi kekerasan.
"Merujuk pada larangan dan hak tersebut, bisa dipahami bahwa walaupun ke badan anak-anak dimaksud dikenakan rompi bahan peledak, mereka adalah pihak yang diajak atau dilibatkan oleh orang lain untuk melakukan aksi kekerasan. Juga dapat dikatakan, mereka adalah anak-anak yang tengah dirampas hak-haknya," ujar Reza dalam keterangannya, Senin (14/5/2018).
Baca: Asosiasi Digital Indonesia Serukan Kampanye #BersatuIndonesiaku
Dengan demikian, menurut dia, anak-anak tersebut merupakan korban.
"Dan karena pihak yang mengajak atau melibatkan anak-anak itu dalam kekerasan adalah orang tua mereka sendiri, maka orang tua tersebut -jika masih hidup- harus dijatuhi pemberatan hukuman," katanya.
Sehingga kesimpulannya, kata dia, alih-alih menyebut anak-anak Dita sebagai pelaku maka UU Perlindungan Anak memandu proses berpikir kita untuk menyebut anak-anak tersebut selaku korban.
"Masyarakat awam, apalagi otoritas penegakan hukum, perlu ngeh akan hal ini," ujar Reza.