Kementerian Pertanian melalui Direktur Jenderal Hortikultura Suwandi, memantau produksi cabai di Sumatera Selatan. Hal ini guna memastikan pasokan aneka cabai khususnya menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri 2018.
“Iya kami pantau produksi cabai di Sumatera Selatan, setelah usai menghadiri acara pencanangan proyek NPK 2,4 juta ton dan peresmian Pabrik PUSRI IIb di Palembang,” ujar Suwandi.
Menurut Suwandi, karakteristik produksi cabai di Sumatera Selatan ini berbeda dengan daerah lain. Di sini pertanaman cabai ada sepanjang waktu, ditanam pada musim yang berbeda pada lima tipe lahan yang berbeda.
“Tipe pertama, cabai ditanam di lahan pasang surut ini berada di Banyuasin,” katanya.
Kedua, lanjut Suwandi, ditanam pada lahan lebak berada di Kabupaten Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir (OKI), dan Musi Banyuasin. Ketiga pada lahan tadah hujan yakni berada di Kabupaten OKI.
“Keempat, ditanam pada lahan sawah berada di Musi Rawas dan OKU Timur, serta kelima dilahan dataran tinggi berada di OKU Selatan, Muara Enim dan Pagar Alam,” sebutnya.
Di tempat yang sama, Kepala Sub Bidang Hortikultura, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Selatan, Sri Indah Mulyati mengatakan luas panen cabai setahun sekitar 5000 hektar, memasok ke Pasar Induk Jakabering dan pasar daerah lain. Pasar Induk Jakabering dipasok 25 ton cabai perhari, bawang merah 30 ton perhari dan bawang putih 50 ton perhari. Kebutuhan bawang putih memang tinggi untuk cuka.
“Untuk produksi cabai ini cukup guna memenuhi kebutuhan Sumatera Selatan, bahkan sebagian produksi dipasarkan ke Jambi, Bengkulu, Lampung dan lainnya. Harga cabai rawit maupun cabai merah keriting di petani berkisar Rp 30 ribu perkg,” terangnya.
Beberapa sentra produksi misalnya di Lais Kabupaten MUBA, cabai rawit merah keriting varietas lokal. Dengan teknologi sederhana biaya minim sekitar Rp 20 juta per hektar, bisa menghasilkan 6 ton setara Rp 120 juta perhektare.
“Sedangkan di Muara Enim di dataran tinggi cabai ditanam intensif dengan biaya Rp 60 juta menghasilkan sekitar 12 hingga 15 ton per hektar,” tutur Sri.
Sementara itu, Ketua Gapoktan Semontor Jaya, Desa Pedu, Kecamatan Jejawi, Kabupaten OKI, Kasnadik mengatakan anggota Gapoktannya menanam 43 hektare cabai dengan varietas local, pemupukan sederhana dengan biaya Rp 16 juta perhektare. Sementara dirinya mengelola cabai 1,5 hektar.
“Hasilnya sekitar Rp 60 juta, masih lumayan. Pertanaman 43 hektare sekarang siap akan dipanen pada Mei hingga Juni 2018 nanti saat Ramadhan dan Idul Fitri siap memasok Pasar Induk Jakabering,” katanya.
Ia tegaskan petani di daerahnya sudah biasa tanam cabai tiga kali setahun di lahan tadah hujan. Saat ini sedang berusaha menggunakan benih unggul dan memperbaiki cara bercocok tanam supaya produksinya bisa minimal 6 ton per hektar.
“Ini sudah diajarkan demplot oleh Pak Darmadi dari Dinas Ketahanan Pangan dan Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten OKI,” ujar Kusnadik.
Sedangkan Abdul Ghopur, petani di desa yang sama, menyampaikan optimis dengan benih unggul hibrid dan pemupukan yang cukup akan menaikkan produksi.
"Sekarang saya membuat demplot 1,5 hektare dan mengajarkan percontohan bagi anggota kelompoktani lainnya menanam cabai seluas 8 hektare,” tutur Ghopur.(*)