Laporan Wartawan Wartakota, Rangga Baskoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencurigai adanya perekrutan yang dilakukan kelompok teroris kepada anak-anak sekolah.
Hal itu dikatakan oleh Ketua KPAI Susanto, berdasarkan analisis sistem rekrutmen pelaku teroris yang menggunakan berbagai pola.
Baca: Penebar Teror di Gereja Santa Anna Duren Sawit Mengaku Hanya Iseng
"Ada tiga modus sistem perekrutan. Pertama melalui perkawinan. Kedua, indoktrinasi melalui jejaring media sosial. Kemudian, patronase guru," ungkap Susanto di Kantor KPAI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (15/5/2018).
Ia menilai, penyusupan anggota teroris yang menyamar menjadi guru perlu diwaspadai, mengingat seorang anak sangat mudah terpengaruh untuk mengikuti sosok seorang guru, yang biasanya diyakini oleh anak tersebut sebagai penyebar kebenaran.
"Modus melibatkan anak-anak untuk melakukan aksi teror ini terjadi di beberapa titik, di antaranya seperti Surabaya, Poltabes, Rusunawa Sidoarjo, Kabupaten Toli Toli, Samarinda Kaltim, dan Medan Sumatera Utara," tuturnya.
Komisioner KPAI Retno Listyarti menyatakan, para pelaku teroris yang menyamar menjadi guru di sekolah, selalu punya perhatian lebih kepada anak-anak yang menjadi target sasarannya.
"Ketika 'si anak' nilai fisika-nya kurang, gurunya membantu. Atau mungkin ketika keuangannya kurang, gurunya yang memberi. Setelah anaknya merasa nyaman karena diberikan kasih sayang, maka paham radikal mudah disusupi ke anak-anak," papar Retno.
Sehingga, lanjutnya, diperlukan upaya preventif yang harus dilakukan pihak sekolah untuk menangkal paham radikalisme, seperti melakukan identifikasi kepada penceramah di waktu Salat Jumat.
"Itu penting sebagai upaya pencegahan. Apakah ceramahnya berisi konten mengenai radikalisme atau tidak?" imbuhnya.