Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tiga saksi kasus dugaan suap pengurusan anggaran pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang berasal dari APBN-P tahun anggaran 2016 mangkir dari panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mereka sedianya diperiksa untuk tersangka, Fayakhun Andriadi (FA).
Baca: Bupati Rita Jalankan Salat Tarawih Perdana Bersama Delapan Tahanan Lain di Rutan KPK
Namun ketiganya mangkir tanpa memberikan keterangan.
"Tiga saksi FA, kasus suap terkait pembahasan dan pengesahan RKA-K/L dalam APBN-P TA 2016 untuk Bakamla RI, penyidik belum memperoleh konfirmasi terkait alasan ketidakhadirannya," jelas Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah, saat dikonfirmasi, Rabu (16/5/2018).
Tiga saksi tersebut diantaranya Direktur Utama PT Viva Kreasi Investindo Ali Fahmi Habsyi, Wakil Ketua Perekonomian DPD Partai Golkar, Sugandhi Bakrie, dan PNS Bappenas, Rizky.
Baca: Terbitkan Aturan Baru, Kemenhub Batasi Kendaraan Berat Melintas Jelang Lebaran
Dalam perkara korupsi ini, nama Ali Fahmi sering disebut dalam persidangan.
Pria yang pernah menjadi narasumber di lingkungan Bakamla itu disebut sebagai pihak yang terlibat dalam proses lobi proyek satelit monitoring.
Terkait kasus ini, KPK telah menetapkan Fayakhun Andriadi selaku anggota Komisi I DPR diduga menerima fee atau imbalan atas jasanya mengurus anggaran Bakamla senilai Rp1,2 triliun atau sebesar Rp12 miliar.
Baca: Jusuf Kalla Jalankan Salat Tarawih Perdana Masjid Sunda Kelapa
Selain itu, Ketua DPD Partai Golkar DKI Jakarta itu juga diduga menerima uang US$300 ribu.
Uang tersebut diduga diterima Fayakhun dari Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah melalui anak buahnya Muhammad Adami Okta secara bertahap sebanyak empat kali.
Penetapan Fayakhun sebagai tersangka didasarkan atas alat bukti berupa keterangan saksi, surat-surat, barang elektronik dan fakta persidangan dari beberapa terdakwa lainnya.
Atas perbuatan tersebut, Fayakhun disangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.