TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Maraknya aksi terorisme di sejumlah wilayah membuat revisi Undang-undang Terorisme kembali menjadi sorotan.
Pengamat Hukum Andri W. Kusuma menilai UU tersebut memang perlu direvisi agar penanganan masalah terorisme tidak lagi dimonopoli oleh Polri.
Hal itu mengingat spektrum terorisme sangat luas.
Andri mengatakan revisi ini jangan dianggap untuk memperluas kewenangan Polri karena akan sangat berbahaya.
Baca: Reaksi Petugas Satlantas Yang Tetap Sabar Saat Diteriaki Ibu-Ibu Bikin Salut Warganet
Justru revisi UU Terorisme harus dipandang sebagai upaya mengembalikan Polri sesuai fungsinya sebagai penegak hukum.
Kata Andri, terlalu riskan jika Polri ditambah kewenangannya karena sudah begitu besar.
Apalagi ujung dari tindakan polisi adalah putusan hukum yang akan jadi jurisprudensi, yang tentunya akan berdampak pada penanganan tindak pidana lainnya.
"Buat Polri sebagai penegak hukum, melanggar KUHAP maka akan dapat berpotensi melanggar HAM," ujar Andri dalam keterangan tertulis, Jumat (18/5/2018).
Dia mengatakan, bila Polri dengan KUHAP tidak sanggup menjangkau, berarti harus melibatkan instrumen keamanan dan pertahanan negara lainnya.
Sebab, lanjut Andri, terorisme memiliki dimensi dan spektrum yang luas.
Baca: Pimpinan ISIS Indonesia Aman Abdurahman Dituntut Hukuman Mati, 6 Fakta Ini Bikin Ngeri
Menurut dia, ada empat hal penting yang perlu diperhatikan dari kegiatan teroris, yaitu penggalangan, perekrutan dan persiapan sampai pada pelaksanaan.
Dari empat itu, tiga di antaranya tidak bisa dijangkau Polri, sehingga membutuhkan peran Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI.
Apalagi dalam hal letak geografis Indonesia memiliki pintu masuk yang sangat banyak.
Dia mencontohkan Santoso di Palu, beberapa waktu lalu, sangat jelas peran TNI, belum lagi misal teror di laut dan udara.
TNI, kata Andri, memiliki satuan khusus di tiga matra sekaligus.
Sebut saja Den 81 Gultor Kopasus, Denjaka Marinir, Den Bravo Paskhas.
"Di sini bisa diisi atau sekaligus mengganti Densus 88,"ujarnya.
Selain itu, Andri juga berpendapat agar dalam revisi UU terorisme, kata atau diksi ‘tindak pidana’ harus diganti menjadi ancaman.
"Atau anti atau apa saja yang penting kata tindak pidana dihilangkan," jelas dia.
Sehingga nantinya dalam penanganan teroris negara bukan saja dapat melibatkan aparat TNI dan BIN, akan tetapi dapat menggunakan seluruh instrumennya, seperti Kementrian Agama, Kementerian Dalam Negeri dan Kementrian Sosial.
"Dimana pada saat dan setelah terpidana teroris itu selesai menjalani pidana, pada tahap ini harus ada peran dari Kementerian Agama dan setelah keluar tahanan pada tahap ini harus ada peran dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Sosial, untuk melakukan deradikalisasi," katanya.
Menurut Andri, deradikalisasi seringkali diartikan sempit oleh negara, hanya penyuluhan agama saja.
Padahal ada juga yang penting, kata Andri, yakni harus perhatikan pendidikan juga lapangan pekerjaannya agar mantan napi teroris ini tidak lagi dikucilkan dalam masyarakat dan dapat hidup normal.
"Kalau tidak dia dapat lebih radikal dari sebelumnya," kata Andri.