TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa Hukum Narapidana Teroris, Achmad Michdan mengaku khawatir mengenai pengesahan RUU Terorisme.
Terlebih, beberapa pasal masih dalam perdebatan antara DPR dengan pemerintah.
Kekhawatiran cenderung lebih besar kepada hak asasi yang bisa saja disalahi oleh pelaksana undang-undang.
Sebab, adanya wacana keterlibatan TNI serta dapat melakukan penindakan tanpa perlu alat bukti yang cukup, adalah hal perlu dikaji.
"Masih banyak yang sebenarnya perlu diperhatikan dalam ruu ini. Terutama sekali mengenai hak asasi manusia. Apalagi, TNI hari ini bisa berbagi tugas dengan polri untuk masalah terorisme dan penahanan terduga teroris," katanya saat dihubungi, Jakarta, Selasa (22/5).
Dia menilai, belakangan banyak sekali kejadian penindakan yang dilakukan oleh pihak kepolisian yang sudah di luar akal sehat.
Terduga, dapat ditahan kapan saja, dimana saja, tidak peduli mereka sedang mengerjakan apapun.
"Ini yang tidak boleh. Masa orang mau berangkat kerja terus ditangkap? Terus orang lagi nongkrong tiba-tiba ditangkap?" lanjutnya.
Belum lagi, kata dia, masih terdapat masalah dalam memberikan pasal kepada tersangka teroris. Di beberapa kasus, terjadi kesalahan dalam menyematkan pelanggaran.
Tiga kasus di Indonesia Timur, misalnya, Achmad menjelaskan ada terduga yang seharusnya melanggar undang-undang darurat, justru dimasukkan dalam undang-undang terorisme, begitu sebaliknya.
"Seharusnya, diberesi dulu dalam penindakan dan menjadikan tersangkanya. Dakwannya juga jelas pakai pasal yang mana? Masih banyak yang keliru," tegasnya.
Cukup Kepolisian
Terlibatnya TNI dalam penindakan kasus terorisme, dinilai tidak perlu oleh mantan narapidana teroris, Haris Amar Falah. Menurutnya, cukup kepolisian yang mengurusi kasus terorisme.
Polisi, lanjut dia, sudah mengerti seluruh anggota jaringan teroris yang tersebar di Indonesia. Begitu juga dengan kelengkapan yang dimiliki.