TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai pengesahan Undang-undang (UU) Tindak Pidana Terorisme tetap harus menjadikan HAM sebagai pijakan.
Hal itu disampaikan Koordinator Program Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, mewakili Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi sektor Keamanan kepada Tribunnews.com,Jumat (25/5/2018).
Karena menurutnya, hukum, dalam masyarakat demokratik, berfungsi untuk memberi, mendefinisikan, serta mengatur pelaksanaan kewenangan-kewenangan negara.
Dengan cara menetapkan batasan-batasan yang jelas terhadap kewenangan negara, hukum melindungi hak-hak warga negara dari kemungkinan abuse of power.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa produk legislasi antiterorisme harus bersesuaian dengan kepentingan warga negara terhadap perlindungan hak-haknya.
"Atas dasar hal tersebut di atas, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendorong agar pengesahan UU Antiterorisme ini harus tetap menjadikan instrumen HAM sebagai pijakannya," cetusnya.
Selain itu , Koalisi menggarisbawahi beberapa poin di dalam undang-undang yang baru disahkan tersebut. Pertama, undang-undang ini harus dijalankan secara hati-hati dengan memastikan bahwa penanganan terorisme tetap berada dalam koridor penegakan hukum (criminal justice system) dan menghormati hak asasi manusia.
Dalam konteks itu, pelibatan TNI dalam penanganan terorisme saat ini sebenarnya belum diperlukan karena institusi penegak hukum masih mampu menangani aksi terorisme yang ada.
Pelibatan TNI baru dapat dilakukan ketika kondisi ancaman sudah kritis dan institusi penegak hukum sudah tidak dapat menanganinya.
Lebih dari itu, pengerahan dan penggunaan Koopsusgab saat ini belumlah dibutuhkan mengingat dinamika ancaman terororisme di Indonesia sesungguhnya masih dapat ditangani oleh institusi penegak hukum.
Koalisi mendorong dengan disahkananya revisi UU Antiterorisme ini dapat memperkuat aspek pencegahan aksi terorisme, seperti penguatan peran BNPT dalam mengkoordinasikan kebijakan penanganan terorisme antar lembaga-lembaga terkait diantaranya Kepolisian, TNI, BIN, Imigrasi, dan lainnya.
Kedua, meski Koalisi mengapresiasi perubahan-perubahan pasal yang bersifat positif seperti masa penangkapan yang disetujui menjadi 14 hari dan dapat diperpanjang selama 7 hari dengan persetujuan Ketua Pengadilan (Pasal 28), total masa penahanan yang menjadi 290 hari (Pasal 25), serta Penghapusan pasal Guantanamo (43A) dan penghapusan pencabutan kewarganegaraan (46A), Koalisi juga menilai bahwa masih terdapat beberapa pasal yang berpotensi bermasalah, yakni soal definisi yg mencantumkan unsur politik.
Definisi yang menggunakan frasa “motif politik” berpotensi menyulitkan aparat penegak hukum dalam upaya penegakannya.
Selain itu, masalah pelibatan TNI dalam UU yang baru disahkaan ini masih berpotensi menggeser kebijakan penanganan terorisme menjadi eksesif serta keluar dari koridor penegakan hukum (criminal justice system). Untuk itu, pemerintah perlu hati-hati dan cermat dalam merumuskan tentang pelibatan TNI dalam perpres sebagai aturan pelaksana ini nantinya.