TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur PT Menara Agung Pusaka, Donny Witono mengakui sebelum perusahaannya dimenangkan terkait proyek di RSUD H Damanhuri Barabai tahun anggaran 2017, dia sempat menemui terdakwa Bupati Hulu Sungai Tengah, Abdul Latif.
"10 Maret 2017 saya ikut pendaftaran lelang elektronik. Tanggal 22 Maret saya masukan data dan tanggal 23 Maret muncul semua peserta lelang. Dari website, HPSnya Rp 65 miliar kami tawar Rp 55 miliar. PT saya yang menawar terendah nomor satu," ungkap Donny saat bersaksi untuk terdakwa Abdul Latif, Senin (4/6/2018) di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Lanjut tanggal 27 Maret 2017, Donny melakukan soft survei melihat kondisi di lapangan didamping staf dan sopirnya ke Barabai. Disana, Donny mencari tahu apa saja hambatan atau akses masuk ke lapangan hingga beragam persiapan yang dibutuhkan di awal.
"Setelah survei, saya jalan-jalan di sana melihat bangunan yang dulu saya bangun pada 2003 lalu. Saya juga melewati rumah jabatan pak bupati (terdakwa). Disana saya liat ada mobilnya jadi saya mampir," ungkap Donny.
Kedatangan Donny diterima oleh terdakwa meskipun ada tamu yang lain. Dalam pertemuan itu, keduanya sempat nostalgia lantaran pernah sama-sama menjadi kontraktor.
Saat pertemuan itu ditegaskan Donny, posisi perusahaannya belum diumumkan sebagai pemenang melainkan dalam tahap evaluasi. Perusahaannya baru diumumkan menang lelang pada 3 April 2017, yang seharusnya diumumkan 29 Maret 2017.
"Kami nostalgia aja, silaturahmi. Ngobrol biasa sudah lama tidak ketemu. Saat itu saya sampaikan
saya sedang ikut tender proyek RS, beliau (terdakwa) bilang silakan saja kalau saya balik lagi (kerjakan proyek) di Barabai. Di akhir pertemuan, beliau katakan kalau ada kesulitan teknis nanti minta bantuan sama Ketua Kadin. Disebutkan saat itu namanya Ujan bukan Fauzan," tuturnya.
Selepas dari rumah jabatan terdakwa, Donny lanjut kembali ke Hotel. Malam harinya, Donny kedatangan tamu, yakni Fauzan. Pada Donny, Fauzan mengaku sebagai Ketua Kadin HST sekaligus orang dekat terdakwa.
"Apa yang dibicarakan Fauzan dengan saudara? ," tanya jaksa penuntut umum pada Donny.
Donny menyampaikan Fauzan menjelaskan disana ada aturan main, harus ada kewajiban untuk membayar fee proyek atau biaya operasional sebesar 7,5-10 persen dari nilai proyek sebelum dipotong pajak.
"Saya bilang saya baru tahu ada aturan itu. Fauzan tanya bagaimana mau menang atau tidak? Saya bilang saya harus menang karena posisi saya penawar terendah, syarat saya komplit. Kalau tidak ada kesalahan harusnya saya menang," ungkap Donny.
"Saya bilang kalau 10 persen saya tidak sanggup karena saya sudah penawar terendah HPS turun 17 persen. Terus jadi 7,5 persen, saya pikir ini kok terlalu vulgar. Saya bilang saya pikir-pikir dulu," terang Donny lagi.
Keesokan harinya, Donny menghubungi Fauzan meminta dipertemukan dengan bupati untuk mengetahui detailnya. Namun menurut Fauzan, bupati tidak bisa menerima karena sibuk. Karena tidak bisa menemui bupati, Donny pulang kembali ke Jakarta.
Diketahui Donny sendiri telah dituntut 3 tahun penjara oleh jaksa KPK pada Senin (14/5/2018). Selain itu, Donny juga dituntut membayar denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan.
Dalam pertimbangan, jaksa KPK menilai perbuatan Donny tidak mendukung pemerintah dalam memberantas korupsi. Namun Donny mau mengakui kesalahannya.
Keterangan yang disampaikan Donny dalam persidangan telah membuat terang tindak pidana yang didakwakan.
Donny didakwakan menyetujui fee 7,5 persen dan dilakukan pembayaran melalui giro dua kali kepada Fauzan. Pertama Rp 1,8 miliar setelah pencairan uang muka proyek dan kedua Rp 1,8 miliar setelah pekerjaan selesai.
Kini sambil menunggu eksekusi Donny ke Lapas Sukamiskin, Donny masih ditahan di Polres Jakarta Timur. Sementara itu, terdakwa Abdul Latif selain disangkakan kaus suap, juga dijerat dengan perkara gratifikasi dan pencucian uang.
Dalam perkara ini, Abdul Latif didakwa melanggar Pasal 13 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.