Mahfud mengakui, dahulu penulis-penulis asing itu sudah mulai mengingatkan ketika reformasi tahun 1998 gerakan-gerakan ini muncul secara menguat diberbagai kampus.
Tahun 1998, bahkan menjelang Soeharto lengser sudah muncul organisasi-organisasi yang berbau agama itu kemudian menawarkan ideologi baru yang kemudian pengikutnya banyak.
Sehingga yang terjadi saat ini merupakan buah dari 20 tahun yang lalu yang banyak pihak sudah memperingatkan karena begitu menjatuhkan Soeharto lalu alergi menyebut Pancasila.
“Pidato-pidato tentang Pancasila ,selogan-selogan di televisi tidak ada lagi, di sekolah-sekolah tidak ada upacara lagi tidak ada hafalan Pancasila gitu orang dianggap sudah demokrasi tidak perlu lagi belajar sesuai ideology. Sesuai ideologi, kemudian pemahaman keagamaan yang sempit tumbuh berkembang di kampus-kampus, nah ini hasil muncul sekarang,” katanya.
Oleh sebab itu tidak heran kalau kemudian hasil survey yang dilakukan oleh Saiful M mengejutkan 87 persen memang masih menghendaki Negara Pancasila.
Namun 9 persen menghendaki Negara Islam jumlahnya tidak kurang dari 24 juta orang merupakan jumlah yang besar.
Menurutnya, bangsa ini memiliki hutang sejarah yaitu pada awal reformasi terlalu liberal.
Selanjutnya memunculkan kebebasan yang berlebih-lebihan ,malu menyebut ideologi Pancasila lalu muncul paham-paham yang seperti sekarang ini.
Hal itu harus segera dihadapi dengan cara yang sangat bijaksana untuk kebersatuan bangsa Indonesia.
Cara bijaksana itu tidak perlu diperlakukan ecara kekerasan tetapi dilawan secara seimbang.
“Kalau adu logika ya adu logika secara terbuka. Nah kalau adu berisik dilayani juga dengan berisik tetapi jangan sampai menimbulkan perpecahan gitu aja, kalau ada debat keras layani dengan debat keras yang gerilya lakukan dengan gerilya jadi diimbangin tetapi tetap Negara tidak boleh melakukan kekerasan politik terhadap mereka yang berbeda pendapat,” jelasnya.
Namun dengan pandangan Negara itu harus diluruskan kecuali kalau melanggar hukum.
Mereka yang melakukan kekerasan politik, membuat teror-teror politik dan sebagainya itu bisa ditindak sesaui hukum yang berlaku.
“Sebaiknya Negara ini menggunakan semua perangkat hukum yang ada untuk menghadapi setiap gejala radikal,” katanya.