TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Urbanisasi dalam arus balik pasca hari raya Lebaran adalah siklus yang selalu terjadi.
Fenomena ini harus disikapi secara arif, agar tidak jadi beban bagi pemerintah kota.
Namun, jangan juga dihadapi dengan penolakan saja.
Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengakui bahwa urbanisasi bersifat alamiah, dimana masyarakat memandang bahwa perekonomian di kota lebih baik ketimbang di daerah atau di desa.
Selain itu, tidak ada aturan yang melarang masyarakat berurbanisasi.
Tinggal bagaimana memberikan pemahaman kepada masyarakat yang akan menjadi pendatang, agar tidak menjadi beban pemerintah.
"Jadi memaknainya yang arif, jangan seolah-olah urbanisasi membawa malapetaka, tapi juga bisa mengisi celah-celah yang kosong, yang memang sebagian dari kita masih membutuhkan teman-teman dari daerah," kata mantan Moeldoko kepada wartawan, Rabu (20/6/2018).
Menurutnya, yang perlu dilakukan adalah mitigasi berdasar pengalaman yang ada guna menyikapi fenomena urbanisasi.
"Jangan hanya pendekatannya pendekatan menolak," kata Moeldoko.
Paradigma perpindahnya masyarakat desa atau daerah ke kota sejatinya sudah tidak lagi didasarkan hanya untuk mengadu nasib.
Setidaknya, pergerakan ke wilayah kota harus memiliki kepastian akan pekerjaan dan tempat tinggal.
"Kalau ada kepastian, maka akan ada sebuah pendapatan baru bagi keluarga mereka di desa, itu cukup positif. Tapi sangat tidak positif apabila pergerakan ke kota tanpa tujuan. Misalnya tidak ada tujuan yang jelas bagaimana kehidupan mereka di kota," tutur Moeldoko.
Guru Besar Sosiologi Ekonomi, Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto mengatakan bahwa fenomena urbanisasi masih akan terus terjadi sepanjang belum tercapainya pemerataan pembangunan.
Selain itu, faktor ketimpangan ekonomi antara desa dan kota menjadi salah satu yang mendorong masih tingginya angka urbanisasi.