TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPP PDI Perjuangan, Andreas Hugo Perreira mengungkapkan bahwa ada upaya yang masif untuk memisahkan antara PDIP dan Joko Widodo hari ini.
Pemisahan, lanjut dia, mengasosiasikan diri kepada Jokowi, lebih dari yang PDIP lakukan.
Upaya tersebut, kata dia, dapat terbilang masif dan dapat dibuktikan dalam waktu beberapa hari ke belakang.
Satu diantaranya, adalah dengan cara klaim kemenangan di Pilkada Serentak oleh beberapa partai politik dan cara-cara lain.
"Ya kita bisa lihat lah. Ada upaya-upaya pemisahan PDIP dan Jokowi. Ada pihak tertentu yang lebih mengasosiasikan diri memiliki atau lebih dekat dengan Jokowi," jelas dia di Kantor PDI Perjuangan, Jakarta, Kamis (28/6/2018).
Baca: PDIP Mengklaim Berhasil dalam Pilkada Serentak 2018
Bukan hanya itu, upaya memisahkan Jokowi dengan PDIP juga tampak dari hasil pilkada serentak yang dimenangi oleh partai pendukung.
Meski, banyak dari mereka hanya mengusung pasangan calon yang bukan berasal dari kader sendiri.
"Tapi, apapun upayanya, sama sekali tidak akan berpengaruh bagi PDIP. Kami sudah sepakat untuk mengusung Jokowi menjadi capres dan semua orang juga tahu dia kader terbaik kami," tegasnya.
Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago melihat lebih dari itu. Pangi menganggap bahwa ada pihak yang sudah mulai memberikan Jokowi sebuah pilihan. Pilihan untuk tetap bersama PDIP atau berjalan bersama dengan partai lain.
"Jangankan mengasosiasikan, dalam beberapa kesempatan, saya melihat Pak Jokowi ini diberikan pilihan lain untuk bersama partai di luar PDIP saat menjadi calon presiden besok," tuturnya.
Pilkada serentak menjadi pembuktian partai di luar PDIP dapat memenangkan banyak pilkada dibanding partai berlambang Banteng tersebut. Dengan demikian, maka, akan ada anggapan bahwa PDIP tidak lagi menjadi partai yang dapat berkuasa di daerah.
"Ya kita lihat PDIP hasilnya jeblok di Pilkada sekarang. Ini jadi momentum partai lain untuk memberi anggapan bahwa PDIP tidak lagi penting untuk Jokowi," tambahnya.
Terlebih, ada korelasi antara dukungan kepala daerah kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden saat kampanye nantinya.
"Ada korelasi kepala daerah dan calon presiden. Ini bisa jadi dukungan ampuh agar calon presiden yang diusung partai bisa menang di daerah tersebut," katanya.
PDIP, lanjut Pangi, harus berhati-hati dengan anggapan seperti ini. Jangan sampai, kader terbaiknya dapat direbut karena partai yang diketuai Megawati Soekarnoputri itu berpindah haluan.
Kemenangan Semu Partai Medioker
Sejumlah partai medioker atau partai yang berada di papan tengah, mengklaim diri mereka berhasil memenangkan banyak pemilihan di daerah pada Pilkada Serentak tahun ini.
Mereka mengatakan, selalu mendengarkan keinginan rakyat di daerah sebelum akhirnya mencalonkan pasangan untuk bertarung.
Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago menjelaskan klaim kemenangan itu, merupakan kemenangan semu partai yang hanya mengusung. Pasalnya, tidak ada sama sekali kader dari partai mereka sendiri yang bertarung dalam kontestasi di Pilkada.
"Saya harus bilang kalau itu kemenangan semu partai medioker. Tidak ada yang benar-benar kader partai mereka sendiri," katanya saat dihubungi Tribun.
Sosok Ridwan Kamil di Jawa Barat atau sosok Edy Rahmayadi di Sumatera Utara, sama sekali bukan orang partai. Menjadi aneh, ketika ada satu atau dua partai mengklaim bahwa sosok tersebut merupakan kader mereka.
"Dua orang ini misalnya, mereka bukan kader partai. Tapi, karena menang, partai-partai ini jadi mengklaim," ujarnya.
Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristianto mengatakan partai-partai yang mengklaim kemenangan tanpa kader itu menjadi wajar. Pun begitu dengan kewajaran di beberapa daerah yang mengusung kader PDIP bersama-sama dan menang.
"Ya enggak apa-apa lah. Hitung-hitung yang kuat bantu yang lemah," ucapnya seraya tersenyum.
Namun begitu, PDIP tetap mengklaim pesta pemilihan di daerah kemarin, adalah pesta milik mereka.
Tujuh kader PDIP dari 17 gubernur dan wakil gubernur terpilih versi hitung cepat, merupakan kader mereka. Sedang partai lain hanya beberapa kader saja yang menjadi kepala daerah.
"Kami unggul secara kualitas kader. Empat kader kami jadi gubernur, tiga jadi wakil gubernur. Sedangkan yang lain, hanya dua atau tiga kader saja. Bahkan ada yang sama sekali tidak mengusung kader sendiri," urainya.
Dengan kondisi seperti ini, Hasto mengatakan cukup bangga dan senang karena pengkaderan yang menjadi tugas dan fungsi partai berjalan secara baik. Mengenai banyaknya kekalahan, Hasto menjelaskan partainya akan mempersiapkan kader terbaiknya di pemilihan berikutnya.
"Kalah menang di Pilkada itu biasa. Justru akan menjadi pemicu kami untuk menyiapkan calon terbaik dari daerah tersebut. Bukan partai yang hanya mengaku-ngaku," jelas Hasto.