Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo telah memutuskan pemberian tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13 untuk para pensiunan, dengan nilai total pengeluaran pemerintah untuk hal tersebut senilai Rp 35,76 triliun.
Kementerian Keuangan mengklaim, pembayaran gaji ke-13 dan THR tahun 2018 diharapkan bisa menyumbang sektor riil dan ekonomi Indonesia.
Lantas, apakah dengan kebijakan populis ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi? Artinya, masyarakat semakin sejahtera dari efek peningkatan konsumsi yang menggerakan pertumbuhan ekonomi.
Farouk Abdullah Alwyni, Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) mengatakan, belum tentu, karena faktanya pertumbuhan ekonomi tidak selalu berbanding lurus dengan penurunan tingkat kesenjangan sosial di masyarakat.
"Berdasarkan studi World Bank, selama satu dekade sampai dengan tahun 2015 yang menikmati pertumbuhan ekonomi hanya 20 persen masyarakat dan meninggalkan 80 persen yang lain,” kata Farouk di Jakarta, Selasa (26/6/2018).
Farouk menjelaskan, mayoritas rakyat tidak bisa merasakan pertumbuhan ekonomi tersebut, sehinggga taraf hidupnya semakin menurun bukannya makmur, yang ada justru banyak mendapakan tekanan beban hidup dari berbagai sektor.
Penikmat pertumbuhan ekonomi ini hanya kelompok kecil saja akibat struktur sosial di Indonesia yang sejak zaman kolonial hingga pasca reformasi tidak berubah signifikan.
"Sementara kelas menengah-bawah dan kalangan UMKM sulit naik kelas karena keterbatasan terhadap akses sumber daya ekonomi akibat dikuasai segelintir elite dan kroni-kroninya,” ungkapnya.
Mengutip laporan dari majalah internasional The Economist, Farouk menyebutkan, Indonesia berada di peringkat tujuh dunia dalam Crony Capitalism Index.
Menurut Farouk, walaupun bukan sebuah indeks yang sempurna, indeks ini paling tidak menggambarkan sejauh mana sebuah negara memberikan kesempatan ekonomi yang lebih terbuka dan merata kepada warganegara-nya.
“Ke depannya, perlu ada evaluasi terhadap struktur penggajian dalam kaitannya dengan persoalan ketimpangan sosial ini," ucapnya.
Dirinya menyarankan, penentuan gaji institusi publik kedepannya perlu menggunakan dasar perbandingan pendapatan per kapita penduduk, ataupun mungkin dari penghasilan terendah anggota masyarakat yang ada.
"Cara perhitungan ini untuk memberikan rasa keadilan sebagaimana amanat konstitusi dan falsafah Pancasila. Pejabat negara yang bergaji besar tapi tidak ada manfaatnya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat sama artinya melanggar setidaknya empat pasal dalam Pancasila," tuturnya.