Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Nurcholis Majid
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) telah menyampaikan perbaikan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pada Selasa (17/7/2018).
PSI menghargai niat yang terkandung dalam Undang-Undang untuk menekan biaya politik.
Baca: Komisioner KPU Sebut Keluhan Terkait Sistem Informasi Pencalonan Mulai Berkurang
Namun, tidak dapat dipungkiri berpolitik di iklim demokratis memang tidak murah, apalagi mengingat luasnya wilayah Republik Indonesia.
"PSI perlu diberikan ruang untuk beriklan agar lebih bisa dikenal masyarakat," ujar Rian Ernest, Jubir Bidang Hukum PSI, melalui keterangan yang diterima Tribunnews.
Sementara itu pasal yang diuji oleh PSI adalah, Pasal 1 angka 35-PSI memohon frasa “dan/atau citra diri” dihapuskan, agar tidak ada lagi orang dikriminalkan hanya karena pencantuman nomor urut dan logo partai.
PSI ingin agar rambu kampanye kembali jelas, penyampaian visi, misi dan program kerja.
Untuk ketiga pasal, yakni Pasal 275 ayat 2; Pasal 276 ayat 2; Pasal 293 ayat 1 sampai 3 pada intinya PSI meminta agar PSI diperbolehkan beriklan kampanye semenjak masa kampanye September.
Rian melihat, PSI tidak punya titik mulai yang sama dengan partai yang sudah berdiri selama puluhan tahun.
Tidaklah adil dan melanggar hak konstitusional Pemohon, setelah mengalami beratnya verifikasi yang dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan HAM serta Komisi Pemilihan Umum, kini PSI tidak diberi kesempatan untuk melakukan iklan serta sosialisasi politik.
"Hal ini dapat diibaratkan dengan memaksa PSI untuk bertinju dengan satu tangan terikat di belakang. Dengan UU yang ketat membatasi iklan, maka kemungkinan besar partai baru seperti PSI hanya ikut serta dalam pemilu nasional hanya satu kali saja, karena tidak lolos ambang batas parlemen," ujar Rian.
Baca: Ditemukan Benda Mencurigakan di Wisma BNI 46, Ternyata Isinya Kertas Bekas Kembang Api
Rian mengatakan, PSI hadir dengan keinginan membawa perubahan perpolitikan Indonesia karena partai-partai yang sudah ada dindikasikan gagal melawan korupsi di dalam sistem politik.
Ia membeberkan data, bahwa tiga dari empat partai peraih suara tertinggi Pemilu 2014 yang lalu, juga merupakan tiga partai yang paling banyak kadernya tersangkaut kasus yang ditangani KPK antara 2014 sampai 2017.