Laporan Wartawan Tribunnews.com, Amriyono Prakoso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Menteri Keuangan, Boediono menjelaskan pihaknya sudah menyerahkan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim kepada sistem yang berlaku.
Boediono yang juga merupakan anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) saat itu menjelaskan bahwa Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) memiliki hak untuk menerbitkan SKL.
Baca: Membesuk SBY di RSPAD, Rizal Ramli Puji Ani Yudhoyono yang Kini Lebih Langsing
Penerbitan, lanjut dia, juga sudah melalui proses panjang, seperti audit BPK, forum group discussion (FGD) bersama dengan intansi terkait, serta memenuhi aspek hukum yang berlaku.
"Kami di KKSK mengandalkan sistem. Sistem itu memberikan masukan info dan KKSK yang melihat apakah itu baik? Kalau memang detailnya kami tidak tahu. Tapi, mereka katakan akan dipenuhi. Ya kami terima. Dalam surat keputusan KKSK itu juga diwajibkan BPPN mengecek kembali semua persayaratan, baru dikeluarkan SKL," jelasnya dalam persidangan kasus BLBI di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/7/2018).
Baca: KPK: Keterangan Boediono dan Todung Perkuat Bukti Korupsi BLBI
Dalam perkara ini, Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) didakwa kasus SKL BLBI. Kasus berawal pada Mei 2002, Syafruddin menyetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) atas proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.
Namun, pada April 2004 Syafruddin malah mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban atau yang disebut SKL (surat keterangan lunas) terhadap Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang memiliki kewajiban kepada BPPN.
Baca: Boediono Mengaku Tidak Pernah Mendapat Laporan Misrepresentasi BDNI
SKL itu dikeluarkan mengacu pada Inpres nomor 8 tahun 2002 yang dikeluarkan pada 30 Desember 2002 oleh Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat sebagai Presiden.
Syafruddin diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 4,5 triliun.