TRIBUNNEWS.COM - "Apa dosa menjadi peranakan? Menjadi Tionghoa? Menjadi Jawa?"
Pertanyaan bernuansa reflektif itu disampaikan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat membuka peluncuran buku edisi ketiga Peranakan Tionghoa Indonesia, Sebuah Perjalanan Budaya di Semarang Contemporary Art Gallery, Semarang (13/7/2018).
Ganjar Pranowo mengajak untuk merenungkan kembali keragaman budaya yang membentuk ke-Indonesia-an kita.
Kita, demikian ungkapnya, tidak bisa memilih untuk dilahirkan di latar budaya tertentu.
Setiap budaya memiliki kisah teladannya sendiri yang menjadi bagian kearifan tradisi Nusantara.
Salah satu sumbangan budaya Tionghoa adalah batik, demikian ungkapnya.
“Saya menyukai batik bergambar naga. Saya kolektor batik Lasem yang bergambar naga. Di situ diceritakan bermacam-macam dengan sentuhan hati dan komunikasi yang lembut semua bisa berpadu menjadi satu.”
--
Boedi Mranata, yang mewakili Komunitas Lintas Budaya Indonesia dan Pelindung Kehormatan di paguyuban Sosial marga Tionghoa Indonesia, turut memberikan sambutan.
Dia berkisah perihal riwayat perjalanan orang-orang Tiongkok yang tersebar dan bermukim di pesisir Nusantara.
Mereka, ungkap Boedi, menggunakan kapal-kapal yang dipandu angin untuk mencapai Kepulauan Rempah ini.
Lantaran harus menunggu angin untuk kembali, mereka bermukim untuk beberapa bulan lamanya. Saat itulah terjadi interaksi dengan budaya setempat hingga menikah dengan warga setempat.
Persentuhan dan peleburan budaya itu sebuah keniscayaan. “Budayanya tidak asli Indonesia, tidak asli Cina, membikin tersendiri budayanya,” kata Boedi. “Kita itu bagian dari Indonesia. Itu yang mau kita sebutkan.”
Lily Wibisono, editor buku ini yang juga mantan editor-in-chief Intisari, mengungkapkan bahwa kebudayaan peranakan Tionghoa kerap mengantarkan kita pada konotasi masa silam.