Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah segera merampungkan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto menyebut pembentukan DKN untuk menghidupkan kembali tradisi dan nilai-nilai kearifan dalam penyelesaian konflik.
Namun, rencana pembentukan DKN masih menuai pro kontra. Salah satunya karena menjadi jalan keluar penyelesaian masalah dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, mempertanyakan urgensi pembentukan DKN. Sebab, landasan undang-undang yang menjadi payung hukum belum ada dan membutuhkan waktu lama.
Menurut dia, DKN tidak jauh berbeda dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsoliasi yang sempat dibentuk melalui UU No. 27 Tahun 2004, Tentang KKR. Namun karena UU ini baru dua tahun berlaku, sudah dibatalkan MK melalui putusan yang dinilai kontroversial karena bersifat ultra petita.
Baca: Tiket Elektronik KRL Hari Ini Sudah Kembali Normal di Seluruh Stasiun Jabodetabek
Baca: Alasan di Balik Mundurnya TGB dari Partai Demokrat
"Apakah masyarakat di berbagai daerah sedang menghadapi konflik sosial antar kelompok dalam skala Kabupaten atau Provinsi atau dalam skala Nasional atau terdapat (potensi,-red) konflik sosial di kalangan masyarakat yang akan muncul," kata dia, Senin (23/7/2018).
Dia menjelaskan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial berfungsi melakukan pencegahan konflik, penghentian konflik dan pemulihan pasca konflik. Ini merupakan landasan hukum sekaligus payung hukum menyelesaikan masalah konflik sosial
Untuk itu, kata dia, dalam hal konflik sosial yang terjadi itu berskala nasioal, maka tanggung jawab terletak di tangan Presiden, dimana Presiden akan menunjuk Kementerian yang membidangi koordinasi urusan Polhukam sebagai koordinator dengan melibatkan Menteri dan Pimpinan Lembaga terkait.
Apabila melihat UU No. 7 Tahun 2012 dan Program Nawacita Jokowi-JK di bidang pembangunan budaya dan karakter bangsa Indonesia, maka yang seharusnya dilakukan adalah membangun "rumah pusat kebudayaan dan kesenian" bukan membentuk DKN.
Sehingga, pilihan membentuk DKN merupakan kekeliruan mendiagnosa realitas sosial di tengah masyarakat, mengingat lembaga yang dikehendaki oleh Nawacita Jokowi-JK bukanlah DKN melainkan "Lembaga Kebudayaan".
"Tidak adanya konflik sosial di tingkat masyarakat bawah pada skala Kabupaten atau Provinsi apalagi nasional, mengisyaratkan pembentukan DKN dipastikan tidak akan berfungsi, malah berpotensi menegasikan peran para tokoh adat, lembaga-lembaga adat, pranata adat dan pranata sosial," kata dia.
Dia menambahkan, peran pemerintah mendorong Pemda dan Lembaga Adat untuk tetap menggelorakan semangat kegotongroyongan, kebhinekaan, saling peduli dan berdampingan secara damai, yang hingga saat ini masih tumbuh dan berkembang secara baik di kalangan masyarakat desa.
Sejauh ini, dia menilai, Peradilan Adat sangat akomodatif menyelesaiakan konflik sosial antara warga masyarakat, mendorong Pemda dalam rangka pemenuhan terhadap amanat pasal 18A dan 18B, pasal 25, 28C, 28i ayat (3), 32 UUD 1945, UU No. 7 Tahun 2012 dan Program Nawacita, sehingga ada sinergi antara Lembaga Adat dan Pemerintah/Pemerintah Daerah dengan semangat otonomi daerah.
Adapun, Hukum Adat dan Lembaga Adat di setiap desa atau daerah masih berlaku efektif hingga sekarang. Lembaga Adat selalu tampil dengan prinsip musyawarah dan semangat akomodatifnya mampu menyelesaikan persoalan masyarakat.
"Dengan demikian membentuk DKN, berpotensi merusak Hukum Adat dan Lembaga Adat, yang sangat heterogen, terlebih-lebih sudah diperkuat dengan UUD 1945 dan UU Tentang Desa," tambahnya.