TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-PDI Perjuangan membekali para bakal caleg artis yang diusungnya di Pileg 2019. Melalui 'tangan' para artis yang berkualitas, diharapkan bersama-sama mewujudkan Indonesia yang berkepribadian. Sebagai salah satu cita-cita Trisakti Bung Karno di bidang budaya.
“Bung Karno mengatakan Indonesia berkepribadian dalam kebudayaan, yakni kebudayaan kita. Bukan kebudayaan Amerika, bukan kebudayaan Eropa, bukan India, kebudayaan Arab, bukan kebudyaan China. Indonesia sebagai Taman Sarinya kebudayaan besar dunia yang dibumikan dalam kepribadian bangsa Indonesia,” kata Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, Senin (30/7/2018).
Hal itu disampaikan Hasto dalam Pembekalan Bacaleg Artis Nusantara di kantor DPP PDI Perjuangan. Hadir belasan bacaleg artis PDI Perjuangan, seperti Rano Karno, Tina Toon, Andre Hehanusa, Harvey Malaiholo, Jeffry Waworuntu, Angel Karamoy, Ian Kasela, Krisdayanti, Chica Koeswoyo, Sarry Koeswoyo, Lita Zen dan Kirana Larasati.
Pada pembekalan selanjutnya, akan dilakukan untuk kelompok purnawirawan TNI dan POLRI; ilmuwan dan akademisi; dan kelompok tokoh-tokoh agama. Dan setelah seluruh persyaratan terpenuhi, selanjutnya akan diadakan sekolah Partai.
Kaderisasi PDI Perjuangan, lanjut Hasto termasuk kepada para bacaleg artis, dilakukan untuk membangun watak kesadaran akan kebudayaan Indonesia. “Makanya jalan kaderisasi akan membuka kesadaran bahwa kita menghormati dan mengekspresikan rasa cinta tanah air,” tegas Hasto lagi.
Hasto kemudian bercerita tentang sejarah kaderisasi partai Pancasilais. Dia mengatakan, kaderisasi baru bisa dilakukan PDI Perjuangan pasca-reformasi 1998, setelah sebelumnya selama 32 tahun rezim Orde Baru memecah belah partai ini.
“Ketika Ibu Mega bergabung dengan PDI tahun 1986, dan 1987 ikut pemilu lalu terpilih sebagai anggota DPR. Beliau ke daerah-daerah dan berjuang agar ‘tenggorakan rakyat’ yang selama ini tersumbat, bisa bersuara kembali”, kata Hasto yang disambut tepuk tangan para hadirin.
Hasto juga membahas tentang bumbu-bumbu nusantara yang menjadi salah satu kekayaan budaya Indonesia. Kekayaan cita rasa nusantara ini pernah ditulis Bung Karno dengan judul ‘Mustika Rasa’ pada 1967. “Dibahas apa yang namanya garam, merica, kemudian daun pandan, cengkeh, jeruk purut, lada putih, kunyit, lada hitam. Itu bumbu-bumbuan kita yang luar biasa,” papar Hasto.
“Tidak ada negara di manapun sekaya kita dalam hal aneka cita rasa bumbu-bumbu. Bung Karno mengatakan, makanan Indonesia ini bercitarasa surga, bayangkan,” tegas Hasto.
Kekayaan cita rasa nusantara inilah yang kemudian disajikan lewat makanan-makanan dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955. “Ada soto, bajigur, ubi kayu. Itu menu utama kita. Sekarang kita meninggalkan itu. Jadi nanti kalau kampanye, buatlah apotek hidup. Kita minum jamu, tauco, tempe, tahu, buntil, oncom,” kata Hasto lagi.
Hasto menjelaskan ada pesan ideologis di balik upaya Bung Karno mempopulerkan bumbu nusantara tersebut. “Dari lidah dan perut rakyat Indonesia tidak boleh terjajah oleh makanan impor,” ujar Hasto mengutip pesan sang proklamator.
“Bung Karno, itu kesukaannya sayur lodeh. Nah ini kita populerkan kembali,” kata Hasto kembali disambut riuh tepuk tangan.