News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kasus BLBI

BPK Kantongi Bukti Piutang Sjamsul Nursalim Macet

Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sjamsul Nursalim

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam sidang lanjutan perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)‎, Senin (6/8/2018) diketahui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigasi terhadap pemberian surat keterangan lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) tahun 2004.

Hasilnya, BPK menemukan fakta ada utang petambak udang sebesar Rp 4,8 triliun kepada BDNI dalam kondisi macet. Keterangan itu disampaikan oleh ahli dari BPK, I Nyoman Wara saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta.

"Kami berpendapat macet, karena ada tiga bukti yang kami temukan," ucap Nyoman Wara.

Nyoman Wara menjelaskan bukti pertama, yakni saat BDNI diambil alih (take over), BPPN meminta jasa konsultan keuangan Ernst and Young (EY) untuk mengkaji aset BDNI, per 3 April 1998. Dalam laporan EY pada 19 Mei 1998, dinyatakan bahwa 99, 99 persen kredit dalam kategori agrikultur adalah macet.

Kedua, analisis BPPN saat mengkaji aset petambak, diketahui sejak Februari 1998 pembayaran kredit dengan mata uang rupiah tidak lagi dibayarkan. Selain itu, pembayaran kredit yang menggunakan dollar, sejak Agustus 1998, tidak lagi dibayarkan.

Maka, saat dilakukan pada perhitungan jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA), piutang petani tambak seharusnya diakui sebagai kredit macet.

"Ketiga, pada Oktober 1999, dilakukan kajian oleh jasa akuntan Arthur Andersen mengenai kredit petambak kepada BDNI. Dari kajian Arthur Andersen, diketahui bahwa presentasi yang dilakukan Sjamsul Nursalim mengenai piutang petambak hanya sebesar Rp 333 miliar.Dengan demikian, ada misrepresentasi, karena piutang sesungguhnya sebesar Rp 4,8 triliun," ungkap Nyoman Wara.

"Jika menggunakan terminologi MSAA, itu disebut pelanggaran pernyataan dan jaminan atau yang disebut misrepresentasi,"kata Nyoman Wara lagi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini