TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Setara Institute, Hendardi memberikan tanggapan terkait vonis 1 tahun 6 bulan atas Ibu Meiliana karena berpendapat tentang volume suara adzan.
Menurutnya, vonis tersebut merupakan bentuk peradilan sesat yang digelar di Pengadilan Negeri Medan (21/3/2018) karena memaksakan diri memutus perkara yang tidak bisa dikualifikasi sebagai peristiwa hukum.
Baca: Meiliana Divonis 18 Bulan Penjara Usai Keluhkan Volume Adzan
"Pengadilan bukan bekerja di atas mandat menegakkan keadilan sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945, tetapi bekerja di bawah tekanan massa. Peradilan atas Meiliana adalah bentuk trial by the mob yang merusak integritas lembaga peradilan," kata Hendardi dalam keterangannya, Kamis (23/8/2018).
Hendardi mengatakan, proses hukum atas Meiliana merupakan akumulasi penyimpangan kerja aparat penegak hukum dari mulai kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan sekaligus menggambarkan lemahnya institusi peradilan atas tekanan massa kelompok intoleran.
Kinerja ini pula, ucap Hendardi, menggambarkan bahwa intoleransi, cara pikir dan cara kerja diskriminatif melekat dalam institus-institusi peradilan di Indonesia.
"Intoleransi bukan hanya tumbuh di tengah masyarakat tetapi juga merasuk ke banyak kepala aparat penegak hukum dan para penyelenggara negara," ucap Hendardi.
Hendardi menjelaskan, perkembangbiakan intoleransi di Tanah Air terjadi sejak 2004 saat Presiden Susiolo Bambang Yudhoyono memimpin dan membiarkan aspirasi intoleransi itu hingga 10 tahun masa kepemimpinannya berakhir.
Sementara, selama hampir 4 tahun masa kerjanya, Joko Widodo juga nyaris tidak mengambil tindakan nyata mengatasi intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan.
Alih-alih mengambil tindakan nyata, menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan, Jokowi sebatas membubarkan organisasi semacam Hizbut Tahrir Indonesia, lebih karena alasan keberadaannya yang mengancam secara politik, tetapi tidak genuine untuk membela kebebasan beragama/berkeyakinan.
Dalam pengamatan SETARA Institute, sedari hulu, proses hukum atas Meiliana berjalan di luar koridor rule of law dan fair trail. Proses hukum penodaan agama dalam perkara ini sejak awal dipicu oleh sentimen SARA atas dirinya.
Pasca perusakan Vihara dan klenteng oleh kerumunan massa (mob), dengan desakan ormas dan kelompok-kelompok intoleran, MUI Sumatera Utara mengeluarkan fatwa bahwa Meiliana melakukan penistaan agama.
Serupa dengan pola kasus Ahok dan sebagian besar kasus penodaan agama, kombinasi tekanan massa, kelompok intoleran, dan fatwa MUI menjadi determinan bagi penetapannya sebagai tersangka oleh kepolisian, dan kemudian ditahan sejak Mei 2018.
Selama proses peradilan, persidangan selalu diwarnai tekanan psikologis terhadap hakim, jaksa, terdakwa serta penasehat hukumnya, dengan kehadiran anggota ormas seperti Front Umat Islam (FUI) dan kelompok-kelompok intoleran.
Dalam konteks yang lebih makro, SETARA Institute menilai berbagai ketidakadilan dan ketidaktepatan penerapan hukum dalam kasus-kasus penodaan agama di Indonesia mengindikasikan bahwa reformasi hukum penodaan (blasphemy law) harus segera dilakukan.
Sebagaimana amanat Mahkamah Konstitusi, revisi atas UU No 1/PNPS/1945 harus segera dilakukan oleh pemerintah dan DPR dengan berorientasi pada pemberantasan ujaran kebencian (hate speech) serta pemidanaan hasutan (incitement) dan pidana kebencian (hate crime).
Baca: Istana Tegaskan Anggaran Penanganan Gempa Bumi di Lombok Sebesar Rp 4 Triliun
Dalam waktu yang segera, Hendardi mengatakan, Komisi Yudisial bisa melakukan pemeriksaan atas dugaan penyimpangan dan un professional conduct dari hakim-hakim yang menangani kasusi Meiliana.
Sementara institusi penegak hukum lainnya, seperti kepolisian dan kejaksaan memastikan hal serupa tidak berulang dan menyusun panduan penanganan kasus-kasus yang berhubungan dengan bidang keagamaan, sehingga aparat di berbagai tingkatan memiliki panduan dalam bekerja.