TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Suasana duka begitu terasa di kamar KLM Rumah Duka RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (30/8/2018).
Isak tangis terus terdengar di dalam ruangan 6x10 meter itu. Tubuh Tokoh Pers Nasional, Sabam Leo Batubara terbujur kaku di perseyaman.
Keluarga dan kerabat terus berdatangan untuk memanjatkan doa dan mengenang masa-masa bersama anggota Pokja Bidang Pengaduan Dewan Pers itu.
Baca: Seorang Pejabat Laporkan Gratifikasi Tiket Asian Games ke KPK
Putra kedua Leo Batubara, Coki Aloysius Batubara tampak tetap berada di luar ruangan saat keluarga dan kerabat silih berganti berdatangan."Tidak kuat saya," ucap dia singkat.
Kepada Tribun, Coki mulai bercerita, ayahandanya masih memiliki satu impian yang belum selesai, yakni menyelesaikan buku "Indonesia Bergelut Dalam Paradoks Jilid IV".
Buku yang seri pertamanya pernah dirilis pada 2009 itu. "Keinginan beliau tinggal itu saja. Menyelesaikan bukunya," ujar dia dengan mata memerah.
Setiap malam, hanya menulis yang selalu dilakukan oleh Leo. Tidak ada hal lain yang dikerjakan sepeninggal istrinya Lintong Tambunan yang sudah mendahului satu bulan lalu.
"Iya menulis saja sudah. Tidak ada lagi. Dia mau cepat selesai bukunya," katanya.
Atau, lanjut Coki, setiap hari ayahnya menghabiskan waktu untuk berolahraga setiap pagi.
Menyempatkan waktu untuk tetap berjalan di sekitar rumah.
Meninggalnya pria yang berusia 79 tahun itu, ungkapnya, sangat mendadak. Pihak keluarga sama sekali tidak memiliki firasat apa-apa.
Apalagi, selama ini tidak pernah ada keluhan sakit dari Leo, meski ginjalnya hanya tersisa satu.
"Semuanya sangat mendadak. Kami pun tidak pernah terpikir akan seperti ini," suaranya mulai serak.
Saat dinyatakan meninggal oleh dokter, belum ada satupun anggota keluarga yang menemani. Terlebih, Leo sudah berhenti bernafas saat perjalanan dari Kantor Dewan Pers menuju RSPAD. "Tidak ada persiapan sama sekali. Kami tahu dari orang kantor Dewan Pers," imbuhnya.
Leo dinyatakan meninggal usai jatuh terpeleset dari depan Kamar Mandi lantai 7 kantor Dewan Pers di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, pada Kamis (29/8) siang.
Kepalanya sempat berdarah sebelum menghembuskan nafas terakhir. "Kemarin, sekitar pukul 16.00WIB tepatnya," tukas Coki.
Selama hidupnya, Leo sangat aktif membela kebebasan pers di Indonesia. Lulusan IKIP Jakarta itu, terlibat langsung dalam perumusan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sejak 1999 hingga 2005 dirinya menjadi pemimpin harian Suara Karya.
Serta masih aktif di perkumpulan yang memperjuangkan amandemen dan konstitusi melindungi kebebasan pers, yakni, Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI).
Ia juga yang terus berbicara "Masyarakat yang cerdas memerlukan pers cerdas yang diawaki pula oleh wartawan yang cerdas,"
Anggota Dewan Pers, Nezar Patria menguraikan sempat bertemu dengan Leo pada pagi hari sebelum kejadian. Mereka saling menyapa dan berbicang sebentar. Pada sore, seorang staf memberi kabar Leo terjatuh dan segera melarikannya ke RSPAD.
"Saya bertemu pagi, terus kita saling sapa, setelah itu masuk ruangan masing-masing. Pas sore, ada staf kasih kabar. Ya sudah langsung ke rumah sakit," ungkapnya.
Baginya hal ini merupakan suatu kehilangan besar, terlebih bagi organisasi. Masukan dan pemikiran dari Leo yang membuat pengurus Dewan Pers tetap semangat. Terlebih, Leo juga dikenal sangat teliti dan tekun dalam mempelajari pengaduan-pengaduan.
"Kadang-kadang kita banyak bersandar dari beliau atas kasus-kasus yang ada," tukasnya.
Sebagai bentuk penghormatan terakhir, putra ketiga Leo, Bobby Batubara menjelaskan jenazah ayahnya akan disemayamkan terlebih dahulu di Kantor Dewan Pers, Sabtu (1/9) pagi, sebelum dikebumikan di Karawang.
"Akan ada prosesi dulu dari kawan-kawan seperjuangan ayah di Kantor Dewan Pers," katanya.(ryo)