‎Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI berbeda pendapat mengenai keikutsertaan mantan narapidana korupsi sebagai bakal calon anggota legislatif (baceleg) di setiap tahapan.
Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia (Kornas TePI), Jeirry Sumampouw, meminta kedua lembaga penyelenggara pemilu itu saling berkomunikasi untuk menyamakan pandangan.
Baca: Tiongkok Akan Terima Estafet Tuan Rumah Penyelenggaraan Asian Games dalam Upacara Penutupan
Upaya ini, kata dia, dilakukan agar perbedaan pendapat antara KPU dan Bawaslu tidak mempengaruhi tahapan penyelenggaraan pemilihan umum 2019.
"Ada ketegangan KPU-Bawaslu. Tidak boleh ketegangan berpengaruh kepada tahapan. Perlu ada yang memfasilitasi ngopi bareng," kata Jeirry, dalam sesi diskusi bertema "Bawaslu Macam Mandor di Zaman Belanda" di D'Hotel, Jakarta Pusat, Minggu (2/9/2018).
Seperti diketahui, KPU RI sudah menetapkan Peraturan KPU (PKPU) RI Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota di Pemilu 2019.
Salah satu poin di PKPU itu mengatur larangan mantan koruptor maju sebagai caleg.
Baca: Sarana Hiburan di Perkampungan Atlet Kemayoran
Aturan itu tertera pada Pasal 7 Ayat 1 huruf h, berbunyi "Bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi,".
Meskipun sudah diatur PKPU, namun nyatanya mantan narapidana korupsi masih dapat mencalonkan diri sebagai caleg.
Hal ini, setelah mengajukan sengketa pendaftaran ke Bawaslu dan Panwaslu setempat.
Baca: Geliat Kota Hangzhou, Tuan Rumah Asian Games 2022
Pada masa pendaftaran bacaleg, tiga mantan narapidana korupsi di Nanggroe Aceh Darussalam, Tana Toraja, dan Sulawesi Utara dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU.
Namun, hasil sengketa menyatakan ketiganya memenuhi syarat (MS) sehingga menganulir keputusan KPU yang menyatakan mereka TMS.