TRIBUNNEWS.COM. SURABAYA - Permintaan Yusril Ihza Mahendra untuk mengganti majelis hakim pemeriksa kasus tipu gelap kongsi pembangunan pasar turi yang menjerat Bos PT Gala Bumi Perkasa (GBP) Henry Jocosity Gunawan sebagai terdakwa akhirnya kandas.
Tudingan Yusril yang menyebut hakim ada kepentingan dalam perkara ini akhirnya dinyatakan tidak terbukti oleh Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Pernyataan penolakan itu langsung disampaikan Hakim Anne Rusiana dalam sidang diruang Cakra. Namun sayangnya, Yusril tidak hadir dalam persidangan yang sedianya mendengarkan tiga saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
"Tim penasehat hukum sudah terima surat jawaban dari Ketua Pengadilan, karena itu sidang kami lanjutkan dengan pemeriksaan saksi,"ujar Hakim Anne Rusiana pada tim penasehat hukum terdakwa Henry diruang sidang Cakra PN Surabaya, Senin (1/10/2018) dan memerintahkan pemeriksaan tiga saksi yang dihadirkan JPU untuk menghadirkan para saksi ke persidangan.
Sidang perdana pembuktian kasus tipu gelap ini menghadirkan tiga orang saksi. Mereka adalah Direktur PT Graha Nandi Sampoerna (GNS) Drs Iriyanto abdoella dan dua penanam saham PT GNS, yakni Widjijono Nurhadi dan Teguh Kinarto.
Saksi Drs Iriyanto abdoella mendapat giliran pertama untuk memberikan kesaksiannya, sementara Widjijono mendapat giliran kedua dan dilanjutkan dengan keterangan saksi Teguh Kinarto.
Dalam kesaksiannya, Iriyanto menerangkan asal muasal kasus ini. Direktur PT GNS ini menjelaskan, jika tindak pidana Henry bermula dari penandatanganan. Kesepakatan antara PT GBP milik Henry dengan PT GNS terkait kebutuhan dana pembangunan pasar turi yang diminta oleh PT GBP yang diwakili Henry ke pemegang saham PT GNS.
Dikatakan Iriyanto, awalnya Ia tidak mengetahui adanya masalah kerjasama antara PT GBP dengan PT GNS. Masalah itu baru diketahui setelah Ia diangkat menjadi Direktur pada 2015.
"Saya baru tau adanya kerjasama permodalan dengan PT GNP yang diwakili Henry terkait pembangunan pasar turi dari para pemegang saham PT GNS, yakni Shindo Sumidomo alias Asoei, Teguh Kinarto dan Widjijono Nurhadi,"terang Iriyanto saat bersaksi.
Kerjasama dalam bentuk notulen yang ditanda tangani pada 23 Maret 2010 itu, lanjut Iriyanto, berujung kerugian bagi PT GNS sebesar Rp 240 miliar.
"Kerjasama yang akan memberikan keuntungan buat PT GNS senilai 240 miliar itu tidak berlangsung mulus, dimana uang yg sudah disetorkan ke henry sebesar 68 miliar tidak berbalas dengan saham yg dijanjikan maupun janji pembayaran keuntungan berupa cek senilai 120 miliar yang ternyata blong karena ditolak bank bca dan tanah dan gudang senilai 120 miliar yg sampai saat ini tidak ada wujudnya, sehingga dirinya pun selaku direksi atas persetujuan pemegang saham pada tahun 2016 melaporkan ke mabes polri,"ungkap Iriyanto.
Iriyanto pun sempat dicecar pertanyaan seputar dibuatnya notulen kesepakatan tanggal 23 maret 2010 dan seputar upaya PT GNS yang sudah ditempuh, namun karena belum menjabat sebagai direksi dia mengaku tidak tahu. Hakim pun menegur tim pembela terdakwa yang terkesan memaksa saksi Iriyanto untuk menjawab pertanyaan yang tidak diketahui saksi Iriyanto.
"Kalau tanya ya tanya saja. Jangan memaksakan jawaban kalo saksi sudah mengatakan tidak tahu," ujar hakim Dwi Purwadi pada tim pembela terdakwa Henry.
Tak beda jauh dengan keterangan Iriyanto, saksi Widjijono pun juga memaparkan adanya kerjasama yang seperti dijelaskan saksi Iriyanto.
"Dan memang terjadi masalah dan kami sudah melakukan mediasi melalui pihak luar yakni Wefan dan La Nyala Mattalitti dan berhasil memperoleh kesepakatan pada 13 September 2013, dimana Henry berjanji membayar kewajiban memberikan saham ke PT GNS. Hal ini dirupakan 12 lembar giro dan 57 unit gudang senilai total 240 miliar,"terang Widjijono.
Sementara suasana persidangan mulai memanas saat Teguh Kinarto dihadirkan sebagai saksi yang ketiga oleh JPU. Kehadiran Teguh dalam persidangan sempat mendapat keberatan dari tim pembela terdakwa Henry dengan dalih belum menyiapkan dokumen untuk menghadapi kesaksian Teguh. Tapi keberatan itu ditolak oleh majelis hakim.