Laporan Wartawan Tribunnews.com Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut pencabutan hak politik selama 3 tahun terhadap Wali kota Kendari nonaktif Adriatma Dwi Putra dan ayahnya, Asrun.
Jaksa dalam tuntutan utamanya menuntut hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap keduanya.
Baca: Pemilik Bangunan di Kawasan Kota Tua Disarankan Tidak Sewakan Lahan ke PKL
"Menjatuhkan juga hukuman tambahan berupa pencabutan hak dilipih dalam jabatan publik pada kedua terdakwa masing-masing 3 tahun setelah selesai menjalani pidana," ungkap jaksa KPK Ali Fikri saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu sore (3/10/2018).
Jaksa meyakini Adriatma dan Asrun telah menerima suap Rp 6,8 miliar dari Direktur PT Sarana Bangun Nusantara, Hasmun Hamzah.
Baca: Pengakuan Ratna Sarumpaet Ciptakan Kebohongan Usai Menjalani Sedot Lemak di Pipi Kiri
Uang dimaksudkan agar Adriatma dan Asrun memenangkan proyek lelang perusahaan Hasmun Hamzah dalam pembangunan gedung DPRD Kota Kendari, hingga jalan Bungkutoko Kendari New Port.
Asrun juga sebelumnya merupakan mantan Wali Kota Kendari, kemudian diteruskan Adriatma.
Bahkan Asrun sempat mencalonkan diri sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) dalam Pilkada 2018.
Baca: Ernest Prakasa: Soal Operasi Plastik Itu Hak Pribadi Seseorang, Jangan Salah Fokus
Uang suap dari Hasmun Hamzah, turut digunakan untuk biaya politik Asrun.
Untuk mengurus keperluan dana bagi Asrun, Adriatma dan Fatmawati Faqih (mantan Kepala BPKAD Kota Kendari) ditunjuk sebagai tim pemenang mengurusi dana kampanye.
Adriatma dan Asrun diyakini jaksa melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No 30 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.