TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Kehormatan PDIP Komarudin Watubun mengatakan kasus kebohongan Ratna Sarumpaet tidak bisa hanya berhenti pada pidana pembuat kabar palsu saja.
Melainkan, harus ditelusuri motif pembuatan dan penyebaran kabar palsu tersebut.
"Jadi saya pikir yang paling penting tidak sampai di sini soal ini dibohongin atau tidak dibohongin. Tapi harus ditelusuri apa yang sebenarnya dibalik Ratna Sarumpaet menyampaikan itu," kata Komarudin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, (5/10/2018).
Komarudin tidak percaya Ratna berbohong telah dianiaya hanya untuk menghindar dari pertanyaan anak-anaknya. Apalagi Ratna terbilang selalu menjaga reputasinya sejak era orde baru.
"Masa orang menjaga reputasi dari zaman orde baru sampai sekarang hanya dalam waktu seketika bisa seperti itu, saya kira tidak," katanya.
Baca: Polri Diminta Selidiki Teknik Propaganda Ala Rusia dalam Kasus Ratna Sarumpaet
Komarudin menduga ada motif besar dibalik kebohongan Ratna tersebut.
Menurutnya hanya polisi yang bisa membongkar motifnya itu.
"Saya kira ini satu skenario besar yang menurut saya harus ditelusuri. Apa motif dibalik itu, itu yang paling penting," pungkasnya.
Sebelumnya Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Arsul Sani berharap polisi mengungkap lebih luas kasus kabar palsu Ratna Sarumpaet, termasuk kemungkinan adanya unsur Propagada.
"Tidak sebatas hanya telah terpenuhinya unsur-unsur dari pasal pidana yang dipersangkakan, tetapi lebih jauh dari itu diharapkan menyelidiki kasus ini dalam spektrum yang lebih luas," ujar Arsul, Jumat, (5/10/2018).
Arsul berharap polisi bisa mengungkap kemungkinan adanya penerapan teknik propaganda "firehose of the falsehood". Propaganda ala Rusia tersebut berjalan dengan cara melakukan kebohongan-kebohongan nyata (obvius lies) guna membangun ketakutan publik.
"Tujuannya mendapatkan keuntungan posisi politik sekaligus menjatuhkan posisi politik lawannya yang dilakukan lebih dari satu kali atau secara terus menerus (repetitive action)," katanya.
Adanya dugaan penerapan teknik propaganda tersebut menurut Arsul bukan tanpa alasan. Beredarnya kabar palsu tersebut pernah terjadi pada kasus Neno Warisman.
"Sebelumnya dikembangkan pemberitaan tentang pembakaran mobil Neno Warisman yg setelah diselidiki ternyata bukan dibakar oleh orang lain tapi terjadi korsletting pada mobilnya," katanya.
Teknik propaganda tersebut menurut Arsul biasanya juga disertai "playing victim" dengan menimbulkan kesan pada publik bahwa pelaku pembuat kabar palsu adalah korban yang teraniaya oleh kelompok penguasa. teknik tersebut merupakan pengembangan dari hoaks dan ujaran kebencian.
"Jika kita ingin memerangi hoax dan ujaran kebencian maka penyelidikan untuk membongkar teknik propaganda diatas perlu dilakukan," pungkasnya.