TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat ini merupakan tulang punggung pembangunan ekonomi dan teknologi menjadi faktor yang memberikan kontribusi signifikan dalam peningkatan kualitas hidup suatu bangsa.
Sebagai akibatnya, pada saat ini terjadi transisi perekonomian dari berbasis pada sumber daya (Resource Based Economy) menjadi perekonomian yang berbasiskan pengetahuan dan informasi (Knowledge Based Economy).
Dengan perubahan paradigma tersebut, negara-negara Barat dan beberapa negara Asia secara konsisten mengerahkan sejumlah besar dana dan para ilmuwannya berlomba menguasai Iptek.
Muncul kemudian inovasi teknologi yang diterapkan ke dalam industri untuk meningkatkan daya saing produk dan meraup devisa.
Sayangnya dalam hal penguasa teknologi tersebut, Indonesia belum mampu mengikuti negara-negara lain.
Ketua Aliansi Kebangsaan, dan Pembina YSNB Pontjo Sutowo menyatakan, rendahnya penguasaan teknologi Indonesia pada dasarnya terjadi karena banyak faktor.
Baca: Belajar Teknologi Pangan dari Jerman
"Misalnya lemahnya sinergi kebijakan Iptek, terbatasnya sumber daya Iptek terutama anggaran penelitian dan pengembangan," katanya saat Diskusi Panel Serial (DPS) dengan tema ATHG Dari Luar Negeri (Perkembangan Teknologi) di Jakarta, Sabtu (6/10/2018).
Hadir sebagai narasumber dalam DPS Seri ke-16 ini, adalah: Prof. Dr. Suhono Harso Supangkat dan Dr. Yono Reaksi Prodjo serta Ketua Panitia Bersama DPS Iman Sunario, dan Prof. Dr. La Ode Kamaludin yang bertindak sebagai moderator DPS.
Dikatakannya, belum optimalnya mekanisme intermediasi Iptek yang menjembatani interaksi antara kapasitas penyedia Iptek dengan kebutuhan pengguna dan permasalahan difusi atau penyerapan teknologi.
"Terakhir, inovasi teknologi justru berkembang di masyarakat industri, bukan dari lembaga riset dan Litbang yang dimiliki bangsa ini," kata Pontjo.
Dengan rendahnya penguasaan teknologi tersebut, Indonesia menjadi sangat rentan terhadap serangan cyber. Seperti misalnya serangan "Ransomware WannaCry" tahun 2017.
Sangat dimungkinkan akan terjadi serangan lanjutan yang lebih berdampak lebih sistemik. Untuk itu Indonesia perlu segera membangun kemandirian teknologi Cyber.
"Indonesia kini sangat urgen memerlukan kemandirian teknologi Cyber. Kemandirian ini dapat terbentuk jika Indonesia mampu melakukan perbaikan doktrin 'Keamanan Nasional' yang sudah ada dan menata kelembagaan dengan kerangka regulasi yang jelas. Dan jika dapat terbentuk kemandirian teknologi, Indonesia akan dapat menjaga keamanan diberikan dengan optimal", kata Pontjo Sutowo.
Suhono Harso Supangkat menyatakan jika revolusi industri menghasilkan perubahan di dalam masyarakat. Dan perubahan ini kini telah mencapai pada titik Society 5.0. Karakteristik Society 5.0 adalah masyarakat yang full use of information and communication technologies.