News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Polah Anggota DPRD Malang Saat Sidang Perkara Korupsi, Mulai Alasan Sakit sampai Mendadak Gila

Editor: Aji Bramastra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Anggota DPRD Kota Malang Priyatmoko Oetomo berada di ruang tunggu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta untuk menjalani pemeriksaan, Jumat (13/10/2017). Priyatmoko Oetomo diperiksa sebagai saksi untuk tersangka mantan Ketua DPRD Kota Malang Moch Arief Wicaksono terkait kasus gratifikasi pembahasan APBD Kota Malang tahun 2015. TRIBUNNEWS/HERUDIN

TRIBUNNEWS.COM - Kota Malang sempat mencuri perhatian publik saat hampir seluruh anggota DPRD Kota Malang dicokok KPK, beberapa waktu lalu.

Nah, sebagian dari anggota DPRD Kota Malang sudah menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Surabaya, Rabu (10/10/2018) siang.

Mereka adalah Priyatmoko Oetomo, Wiwik Hendri Astuti, Mohan Katelu, M Zainudin dan Slamet.

Semua dicecar perihal uang pokok pikiran (pokir), uang sampah, dan sejumlah gratifikasi dalam APBD 2015.

Sebagian dari mereka pun menunjukkan polah aneh saat diperiksa.

Jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Arief Suhermanto, mengatakan tak semua terdakwa bersikap kooperatif dalam persidangan. 

Saat mengorek keterangan dari Priyatmoko misalnya, jaksa menemui kesulitan.

Priyatmoko, yang berasal dari PDIP ini, tiba-tiba menunjukkan banyak alasan.

Mulai mengaku sakit sampai ada yang mengatakan sudah gila.

Menurut Arief, Priyatmoko tiba-tiba tak bisa bicara.

"Keadaan Ketua Fraksi yang berbicara saat itu, (Priyatmoko) itu lidahnya agak kelu, agak bagaimana, sehingga kami mencoba konfirmasi semua, tapi ya tahu sendiri tadi seperti apa," ungkap Arief.

Arief mengatakan kondisi itu sudah disampaikan sejak pemeriksaan yang pertama kali, tepatnya saat sidang dengan agenda keterangan saksi dari Kepala Dinas PU, Jarot Sulistiono.

"Saat itu sudah mengatakan sakit, dia mengatakan bahwa ada penurunan ingatan, bahkan ada yang mengatakan gila, tapi kami tak serta merta meyakini hal itu," sebutnya.

Polah aneh Priyatmoko ini muncul secara tiba-tiba.

Pasalnya, dalam sidang pertama, Priyatmoko bisa menjawab secara baik.

Arief pun menyebutkan, pada saat itu Priyatmoko dapat menanggapi beragam pertanyaan dari JPU dengan jelas dan lengkap.

Namun, pada sidang berikutnya, saat jaksa memberikan beragam pertanyaan, Priyatmoko mengaku tidak kuat duduk dalam waktu lama.

Arief menyebut alasan Priyatmoko ini sebagai hal aneh.

Menurut Arief, tim kejaksaan sempat memberi izin Priyatmoko tidak hadir dalam sidang karena alasan sakit.

Tapi, ketika dipantau, Priyatmoko nyatanya malah aktif masuk kerja, bahkan sempat terlihat di Terminal 1 Juanda pada 29 Agustus 2018 mendatangi acara penutupan Asian Games 2018.

Arief mengatakan, saat dipantau jaksa, posisi jalan Priyatmoko terlihat tegak.

Ia tidak terlihat seperti sakit seperti halnya orang sakit yang harus dituntun memakai kursi roda atau sebagainya.

Rekaman Percakapan

Saat memeriksa saksi Priyatmoko, tim jaksa memutarkan rekaman percakapan telepon 13 Juli 2015 malam.

Jaksa menyebut rekaman itu adalah suara Priyatmoko dengan Suprapto.

Mereka terdengar membicarakan empat fraksi: Demokrat, Golkar, PKB, dan PDI-P.

"Papat, yo? Iku kan kurang 300, mene opo saiki (Empat, ya? Itu kan kurang 300, besok apa sekarang?)," demikian percakapan antara Priyatmoko dan Suprapto.

Tapi Priyatmoko berkelit bahwa itu bukan suaranya. 

"Hmmm, tidak," jawab Priyatmoko, singkat.

Hakim, jaksa dan pengunjung pun menggelengkan kepala, seolah heran dengan Priyatmoko.

Priyatmoko juga sering bersikap seolah tak mendengar, linglung, dan lupa dengan apa inti dari rekaman suara.

"Apa betul itu suara bapak dengan Pak Suprapto?" tanya hakim meminta ketegasan Priyatmoko.

Seluruh ruang terhening menanti jawaban Priyatmoko.

Priyatmoko pun sempat terdiam, terlihat ia memegang kepala sembari mengerutkan wajahnya seolah tengah berpikir keras untuk mengingatnya.

Ternyata, ia hanya menggelengkan kepala tanpa menyampaikan sepatah kata pun terkait rekaman tersebut.

Jaksa lalu memutarkan rekaman suara kedua yang terdengar jelas suara Priyatmoko lagi.

"Sing nak Bowo 40 yo (yang di Bowo 40 ya)," suara Priyatmoko dalam rekaman suara telepon.

Lagi lagi, Priyatmoko mengaku tidak tahu.

Tak putus asa, jaksa kembali memutar rekaman ketiga.

Belum rampung rekaman suara diputar, lalu Priyatmoko ditanya jaksa dan hakim kembali.

"Tidak tahu," jawab Priyatmoko. 

Saat ditanya apakah pernah disuruh Surapto sebelum lebaran agar ke rumah dinas Arif Wicaksono (Ketua DPRD), ia mengatakan tak tahu sambil bersikap seperti sakit berat.

Padahal, saat memberikan mikrofon yang digenggamnya kepada rekannya (Zainudin) ia masih bisa berbisik dan memahami apa yang disampaikan rekannya.

Berbeda halnya saat rekaman suara yang diputar jaksa berisi percakapan telepon, dengan volume keras, Priyatmoko seolah tak mendengar. 

Lalu, sekitar pukul 16.30 WIB, sidang ditunda.

Hakim, jaksa, pengacara sampai sejumlah terdakwa dan pengunjung beristirahat.

Sidang ini berlangsung lagi usai salat maghrib hingga malam hari.

Uang THR

Anggota DPRD Kota Malang lain, Mohan, Slamet, dan Zainudin mengakui adanya uang ilegal yang mereka terima.

Uang itu mereka istilahkan dengan uang THR.

"Mereka mengakui uang itu diterima dan dibagikan, begitu juga bendahara PDIP kala itu, yakni Yudis Tri Yudiani," ujar Arief, Rabu (10/10/2018).

Arief menambahkan, pembagian uang kala itu terbagi dalam dua tahap, yakni Rp 115 juta dan Rp 100 juta.

"Kami mencoba untuk membuktikan dakwaan kami terkait pertemuan informal dalam pembahasan itu, walaupun agak digeser-geser sedikit dengan istilah THR, tapi konten isinya tetap sama," sambungnya.

Kata Arief, istilah THR yang dimaksud para saksi itu adalah uang pokok pikiran, sampah, dan beragam gratifikasi.

"Karena, dalam bukti-bukti sebelumnya serta percakapan yang ada, mereka semua yang kami lakukan intercept (penyadapan) itu tidak ada pembahasan THR, tapi membahas tentang uang sampah dan uang pokok pikiran, contohnya tadi ada rekaman yang kami putar terkait pimpinan DPRD, yaitu Wiwik selaku wakil ketua dan Rahayu juga sebagai wakil ketua," tandasnya.

Dari fakta persidangan, Wiwik dan Rahayu terdengar jelas meminta tambahan uang kepada Arif Wicaksono yang saat itu menjabat Ketua DPRD Kota Malang.

Jaksa Arief pun menanggapi, hal itu sudah jelas bila keduanya hanya menerima dua bendel uang sampah dan uang pokok pikiran.

"Dia juga mengakui termasuk uang Rp 300 juta itu tadi," bebernya. (Surya/Praditya Fauzi)

Artikel ini telah tayang di suryamalang.com dengan judul Jaksa KPK Ungkap Hasil Penyadapan Telepon dan BBM Anggota DPRD Kota Malang

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini