TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Humas Pengurus Pusat Perbakin, Rocky Roring menjelaskan, kecenderungan adanya human error atau kesalahan dari dua tersangka yang sudah ditetapkan polisi.
Pasalnya, lima peluru terlepas dari pistol tangan jenis Glock 17 dan mengarah ke gedung DPR.
"Kalau menurut saya, ini human error. Karena seharusnya saat latihan tidak boleh ada senjata modifikasi ke full auto di dalam lapangan tembak," katanya saat dihubungi Tribun, Jakarta, Rabu (17/10/2018).
Meski begitu, menguraikan senjata jenis Glock meski dimodifikasi menjadi full automatic, tetap harus menarik pelatuk satu persatu agar peluru terlontar.
Tidak bisa, satu kali tarikan lima peluru terlontar sekaligus.
"Ini kan pistol, bukan senapan juga. Harus satu-satu nembaknya. Bukan satu tarikan pelatuk, langsung lima gitu. Tapi, kita kan juga tidak tahu seperti apa modifikasinya. Pribadinya juga seperti apa?" urainya.
Dia berandai, jikalau saat itu penembak melakukan reload (penggantian magasin) hanya satu peluru yang memungkinkan terlontar secara tidak sengaja, yakni, peluru sisa yang masih tertinggal di dalam selongsong.
"Kalau dia merasa sudah kosong, kemungkinan kan hanya satu yang sisa. Bukan lima. Satu magasin itu bisa isi 15 peluru," lanjutnya.
Lagipula lanjutnya, tersangka yang latihan tembak di lokasi itu, bukanlah orang yang baru memegang senjata.
Sudah mendapatkan sertifikasi dari Perbakin daerah dan sudah diperbolehkan untuk berlatih di Senayan, setidaknya sudah memiliki pengalaman selama satu tahun belajar memegang senjata.
Belum lagi, pasti ada instruktur dan kru dari Lapangan Tembak yang harus menemani saat latihan terjadi. "Atlet saja masih harus didampingi kok," tukasnya.
"Saya harus tegaskan, prinsip dasar memegang senjata, pertama safety, kedua safety, ketiga safety. Harusnya dia (pelaku) tahu soal ini," tegasnya.
Belum sampai disitu, Rocky melihat kesalahan lain dari penembak di lapangan yang terbuka untuk tembak reaksi, sasaran hanya terbagi dua arah, mendatar dan ke bawah.
Tidak ada sasaran yang mengarah ke atas dari semua level penembakan yang harus dilalui. Jarak tembak paling jauh 25 meter dan paling dekat satu meter baik diam maupun target bergerak.
"Di dalam stage-stage itu, tidak ada yang sampai ratusan meter dan tidak ada yang ke atas. Kalaupun posisi tiarap, ada rekoset yang menghalang peluru. Tidak akan sampai ke gedung DPR yang ada di seberang," kata dia.
Pelaku yang Sama
Kabid Balistik, Metarlugi Forensik Puslabfor Polri, Kombes Pol Ulung Kanjaya, bakal tetap melakukan uji balistik terhadap peluru yang baru ditemukan di Gedung DPR pada hari ini, Rabu (17/10/2018)
Meski Ulung, membuka kemungkinan bahwa peluru yang ditemukan masih berkaitan dengan kejadian peluru nyasar pada Senin (15/10) lalu.
"Kemungkinan bisa saja masih ada kaitannya dengan kejadian yang sebelumnya. Tapi nanti kita lakukan Puslabfor lebih lanjut," ujar Ulung saat dikonfirmasi wartawan.
Polisi sempat menjelaskan penyebab peluru yang dilontarkan senjata oleh tersangka IAW langsung keluar empat peluru sekaligus. Tersangka diduga menggunakan alat switch custom untuk melontarkan empat peluru.
Penyidik bakal memeriksa keterangan dari tersangka untuk mengetahui berapa peluru yang berada di dalam magazin peluru.
Bisa saja mereka mengaku ada empat peluru pada pistol yang dimodif padahal nyatanya ada lebih dari empat peluru.
"Bisa kemungkinan pelaku tidak jujur," tutur Ulung.
Seperti diketahui, dua peluru kembali di temukan di gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, (17/10/2018).
Peluru tersebut ditemukan di lantai 10 tepatnya ruang 1008 tempat berkantornya anggota Fraksi Demokrat Vivi Jayanti Jayabaya, dan ruang 2009 tempat berkantornya anggota Fraksi PAN Totok Daryanto.
Sebelumnya juga sempat ditemukan peluru di ruang kerja anggota Komisi III DPR RI, Wenny Warouw dari Fraksi Gerindra dan ruang kerja anggota DPR RI Komisi VII, Bambang Heri Purnama dari Fraksi Golkar.
Terkait kasus ini, polisi telah menetapkan dua pegawai negeri Kementerian Perhubungan berinisial IAW dan RMY sebagai tersangka. Kasus peluru nyasar itu ternyata akibat saat keduanya berlatih menembak di Lapangan Tembak, Senayan, Jakarta Pusat.
Dalam kasus ini, kedua tersangka dijerat dengan Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dan terancam hukuman pidana maksimal 20 tahun penjara.