TRIBUNNEWS.COM - Hari ini tepat 31 tahun tragedi Bintaro, sejarah kelam perkeretapian Indonesia.
Kereta Api dikenal sebagai salah satu moda transportasi yang mampu menampung hingga ribuan orang.
Tak heran jika kereta menjadi moda transportasi yang diandalkan di Indonesia.
Namun, dalam sejarahnya tidak semua perjalanan kereta api berlangsung lancar.
Terdapat sejumlah kecelakaan yang menewaskan banyak penumpang, salah satunya yang terjadi di Bintaro, Jakarta Selatan.
Baca: Cerita Betty dan Dua Kawannya Sebelum Tragedi Bintaro
Hari ini 31 tahun yang lalu, tepatnya pada 19 Oktober 1987, terjadi kecelakaan antara Kereta Api (KA) 225 Merak dengan Kereta Api (KA) 220 Rangkas di daerah Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan.
KA Rangkas dan KA Merak bertabrakan dengan posisi saling menghadap satu sama lain atau adu banteng.
Kedua kereta sama-sama ringsek karena benturan keras.
Berdasarkan dokumentasi Harian Kompas, lebih dari 156 orang meninggal dan ratusan lainnya mengalami luka-luka.
Peristiwa ini tercatat sebagai peristiwa maut dan terburuk dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia.
Kelalaian Petugas
Dalam sebuah perjalanan kereta api, pemegang kendali perjalanan tak hanya berada di tangan masinis.
Ada beberapa pihak ikut andil dalam menentukan apakah kereta ini bisa berangkat ataupun tidak.
Harian Kompas edisi 20 Oktober 1987 menjelaskan bahwa yang menentukan boleh tidaknya KA berangkat bukanlah masinis.
Ada seseorang yang berada di luar lokomotif yang memiliki kewenangan.
Ketika kereta itu melintasi antar-stasiun, hak penuh berada di Pemimpin Perjalanan Kereta Api (PPKA) yang memakai pet merah.
Sedangkan di dalam stasiun, terdapat pula juru langsir yang mengatur rambu kereta.
Ketika mau jalan, PPKA tak bisa semaunya memberangkatkan kereta.
Dia harus berkoordinasi dengan dua atau tiga stasiun berikutnya untuk mengetahui jalur yang akan dilewati itu aman atau tidak.
Peristiwa yang terjadi di Bintaro merupakan sebuah kecelakaan yang disebabkan oleh kelalaian petugas.
Peristiwa bermula dari kesalahpahaman kepala Stasiun Serpong yang memberangkatkan KA 225 dengan tujuan Jakarta Kota.
Kereta itu berangkat menuju Sudimara tanpa mengecek kondisi di stasiun.
Hasilnya, tiga jalur kereta yang berada di Stasiun Sudimara penuh akibat kedatangan KA 225.
Tanpa komunikasi yang baik antara Stasiun Sudimara, KA 220 yang berada di Stasiun Kebayoran juga diberangkatkan.
Kereta ini berada di jalur sebaliknya, yang mengarah ke Sudimara.
Kondisi itu memaksa juru langsir di Sudimara segera memindahkan lokomotif KA 225 menuju jalur tiga.
Karena ramainya jalur kereta, masinis tak dapat melihat semboyan dari juru langsir.
Baca: Cerita Tiga Sahabat Sebelum Tragedi Bintaro
Namun, KAA 225 yang seharusnya pindah rel tiba-tiba berangkat.
Semboyan 35 dilakukan.
Upaya dari juru langsir dan dan PPKA untuk menghentikan KA 225 sia-sia.
KA 225 yang membawa tujuh gerbong akhirnya "bertatapan muka" dengan KA 220 di Desa Pondok Betung.
Pukul 06.45 WIB, kedua kereta ini saling bertabrakan.
KA 220 dengan kecepatan 25 kilometer per jam, sedangkan KA 225 dengan kecepatan 30 kilometer per jam saling beradu.
Keduanya ringsek.
Setelah peristiwa itu, beberapa petugas yang berada di stasiun dan masinis kereta diperiksa.
Mereka kemudian dijatuhi hukuman akibat kelalaiannya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenang Tragedi Bintaro, Catatan Hitam dalam Sejarah Kereta Api.."