Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rizal Bomantama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rasio Ridho Sani mengatakan pihaknya belum bisa turun tangan mengatasi kasus proyek Meikarta yang diduga terkait suap perizinan.
Rasio menegaskan pihaknya baru bisa melakukan penegakan hukum bila terjadi kerusakan lingkungan serius di dalamnya.
Baca: Dugaan Suap Proyek Meikarta, Bupati Bekasi Neneng Ucapkan Permintaan Maaf
“KLHK baru bisa masuk bila diduga ada kerusakan lingkungan serius yang mendapat perhatian publik luas serta berpengaruh secara sosial terkait izin yang diberikan pemerintah daerah kepada suatu proyek, bila tidak ada maka KLHK tidak bisa masuk,” ujar Rasio di Senayan, Jakarta Pusat, Senin (22/10/2018).
Hal itu disampaikan untuk meluruskan pertanyaan masyarakat yang menuntut KLHK turun tangan mengatasi kasus Meikarta.
Rasio mengatakan bila KLHK sudah turun tangan dinamakan sebagai penegakan hukum lapis dua.
Menurutnya, bola penyelesaian masalah Meikarta berada di tangan pemerintah daerah setempat.
“Dalam Undang-Undang Lingkungan dan Peraturan Pemerintah pun disampaikan bahwa izin-izin seperti Meikarta adalah ranah pemda, dan pemda yang harus menyelesaikannya, bukan di KLHK,” pungkasnya.
KPK telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus itu, yaitu konsultan Lippo Group: Taryudi (T) dan Fitra Djaja Purnama (FDP) serta pegawai Lippo Group Henry Jasmen (HJ).
Baca: Evaluasi Metode Perhitungan, BPS Prediksi Produksi Beras Sampai Akhir 2018 Capai 32,42 Juta Ton
Kemudian KPK juga menetapkan status tersangka kepada Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin (J); Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi, Sahat MBJ Nahor (SMN); dan Kepala Dinas Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bekasi, Dewi Tisnawati (DT); Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro (BS); Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin (NNY); dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi (NR).
Bupati Bekasi dan beberapa orang di birokrasi pemda diduga menerima hadiah atau janji dari pengusaha terkait pengurusan izin proyek Meikarta.