TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Konstitusi, I Dewa Gede Palguna menjelaskan, hasil Pemilu 2014 merupakan yang paling masuk akal untuk penerapan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.
Pilihan tersebut merupakan sebuah konsekuensi dari transisi penyelenggaraan Pemilu yang tadinya terpisah menjadi serentak.
"Hal demikian dimungkinkan karena presidential threshold adalah legal policy pembentuk undang-undang," jelasnya saat sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (25/10/2018)
Penjelasan itu, menanggapi salah satu permohonan yang menyebutkan bahwa masyarakat yang sudah memilih pada Pemilu 2014 lalu yang peruntukkannya sebagai dasar ambang batas pencalonan capres dan cawapres Pemilu 2019.
Baca: Pembakaran Bendera di Garut, Ketum ICMI: Bagian dari Budaya Politik Kita yang Belum Matang
Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu juga dinilai oleh pemohon memanipulasi hasil hak pilih warga negara. Mengingat, tidak pernah sekalipun diberikan informasi oleh siapapun juga, bahwa hasil suara mereka digunakan sebagai dasar ambang batas.
"Tindakan manipulasi ini bertentangan dengan Pancasila, sila ke-1, 2, 3, 4, dan 5," kata Pemohon, Effendi Ghazali dalam permohonannya.