TRIBUNNEWS.COM - Aksi sejumlah remaja mabuk dengan air rebusan pembalut di Kabupaten Kudus, menyita perhatian Badan Narkotika Negera Provinsi (BNPP) Jateng.
Kepala Bidang BNNP Jateng AKBP Suprinarto menyampaikan, beberapa remaja yang diamankan oleh BNNP Jateng karena mabuk rebusan pembalut di Kabupaten Kudus sehari-hari tercatat sebagai anak jalanan.
"Lebih dari satu yang kami amankan. Usia mereka mulai dari 13 tahun hingga 16 tahun. Ada warga Grobogan juga."
Baca: Bukan Termasuk Narkoba, Pelaku Mabuk Air Rebusan Pembalut Sulit Dijerat Hukum
"Awalnya kami amankan satu dan dia bercerita jika sering mabuk rendaman pembalut beramai-ramai," kata Suprinanto saat dihubungi Kompas.com, Jumat (9/11/2018).
Berikut fakta singkat remaja mabuk rebusan pembalut di Kabupaten Kudus.
1. Pembalut Bekas
Dijelaskan Suprinanto, anak-anak jalanan yang "fly" rebusan pembalut di Kudus tersebut memeroleh pembalut dari pembalut bekas yang dipungut dari sampah.
Pembalut bekas tersebut, sambung dia, selanjutnya direbus dengan air putih.
"Setelah dibiarkan dingin kemudian diminum."
"Pembalut bekas tersebut dipunguti dari sampah tapi perkembangannya ada juga yang menggunakan pembalut baru," ungkap Suprinanto.
2. Asal muasal
Menurut Suprinanto, para anak jalanan nekat coba-coba mabuk rendaman pembalut karena mendengar dari mulut ke mulut.
Sebelumnya tahun 2016, sudah pernah ditemukan fenomena serupa di Belitung dan Karawang.
"Kami rehabilitasi dan berikan edukasi bagi mereka karena belum ada sanksinya."
"Anak jalanan memang rentan melakukan penyalahgunaan karena umumnya mereka punya gaya hidup bebas."
"Sebelumnya banyak ditemukan mabuk dengan obat pembasmi nyamuk, lotion anti nyamuk, obat-obatan dan sebagainya," pungkasnya.
3. Bukan Kasus Baru
Komisioner KPAI bidang Kesehatan dan NAPZA Sitti Hikmawatty mengatakan, sesuai data yang masuk di KPAI, kasus ini bukanlah kasus baru.
"Pada saat kami tangani kasus penyalahgunaan PCC, 2017 lalu juga sudah kita temui, namun jumlahnya relatif kecil," ujar Sitty saat dikonfirmasi Tribunnews, Kamis (8/11).
Kegiatan remaja yang mencari alternatif zat yang dapat membuat mereka 'fly', tenang ataupun gembira, ucap Sitty, awalnya didapatkan secara coba-coba atau eksperimen.
"Jadi kalau kita mengenal beberapa golongan Psikotropika diluar Narkoba, maka beberapa zat 'temuan' para remaja ini termasuk kelompok eksperimen psikotropika," kata Sitty.
Sitty berujar jumlahnya memang belum bisa diprediksikan, karena berkaitan erat dengan jumlah anak serta kreativitas "meramu" bahan-bahan yang mudah didapat dipasaran.
Minum air rebusan pembalut juga di dapat dari coba-coba, selain fenomena lain seperti ngelem, dan lainnya.
Ditengarai anak-anak itu mempelajari lewat internet. Sehingga mereka bisa membuat beberapa varian baru, dari racikan coba-coba.
4. Risiko
Menurut Sitty, tingkat risiko atau bahaya menjadi meningkat karena mereka hanya konsen pada satu zat tertentu dalam sebuah bahan, namun zat lainnya cenderung diabaikan sehingga reaksi sampingan yang terjadi bisa berakibat fatal.
Hasil penelusuran KPAI mendapatkan bahwa awalnya dorongan ekonomilah yang membuat mereka melakukan percobaan ini.
"Karena tidak mampu membeli karena tidak punya biaya, sementara sudah kecanduan, maka mereka berupaya mencari tahu dengan bantuan informasi Internet tadi, meracik sendiri ramuan-ramuan yang diharapkan akan memberikan hasil seperti kebutuhan mereka," katanya.
5. Kandungan Pembalut
Yang menjadi pertanyaan kemudian, apa sebenarnya kandungan pembalut sehingga digunakan jadi “pengganti” narkoba?
Seperti yang telah banyak diberitakan, pembalut wanita mengandung klorin dan bubuk dosium polyacrylate.
Hal tersebut, dilansir dari Tribunnews.com, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YKLI) pada 2015.
Diungkapkan di situs resmi YLKI, riset tersebut dilakukan menggunakan sampel yang diperoleh dari ritel dengan menggunakan metode spektrofotometri.
Dari hasil pengujian YLKI 9 merek pembalut dan 7 merek pentyliner semua mengandung klorin dengan rentang 5 s/d 55 ppm.
Tidak hanya uji lab, YLKI juga menganalisa label produk pembalut dan pantyliner.
Data menunjukkan sebagian besar (52%) produk tidak mencantumkan komposisi pada kemasan produk dan sebagian besar (57%) produk tidak mencantumkan tanggal kedaluarsa.
Dan dari hasil pengujian serta analisis label bahwa pembalut dan pantyliner yang berasal dari kertas memiliki kadar klorin lebih tinggi dibandingkan yang berasal dari kapas.
Begitu bunyi hasil pengujian yang disiarkan melalui siaran pers pada 2015.
Bubuk sodium polyacrylate pada pembalut berfungsi sebagai bahan penyerap cairan.
Seorang dokter adiksi, dr Hari Nugroho, juga ikut berkomentar soal fenomena mabuk rendaman pembalut ini.
Menurutnya, kandungan zat kimia dalam pembalut wanita sejatinya bukan merupakan zat adiktif.
Namun, zat kimia seperti klorin dapat menimbulkan beberapa efek pada otak manusia.
Klorin bisa mengakibatkan efek pada sistem neuro psikologis manusia.
"Memang (kandungan dalam) pembalut dan pampers itu tidak lepas dari adanya zat-zat kimia yakni jejak klorin. Lalu ketika dikonsumsi akan ada efek-efek sistem neuro psikologi kita sebagai manusia,” katanya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Remaja Mabuk Pembalut Bekas Ambil Buangan dari Tempat Sampah"