News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

KPU Disarankan Ikuti Putusan MK Soal Aturan Pengurus Partai Politik Jadi Calon Anggota DPD

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Feri Amsari.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai KPU RI sedang menghadapi problem karena dihadapkan pada putusan berbeda antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).

MK dan MA mengeluarkan putusan berbeda mengenai seorang pengurus partai politik mencalonkan diri sebagai anggota DPD RI untuk Pemilu 2019.

Baca: Pakar Ekspresi Ungkap Maksud Asli Luna Maya Jawab Kabar Reino-Syahrini, Beda Jauh dari Ucapannya

Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 mengenai larangan pengurus partai politik menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sudah mulai berlaku sejak dibacakan di sidang pembacaan putusan pada 23 Juli 2018.

Namun, MA mengabulkan permohonan uji materiil yang diajukan Oesman Sapta terkait peraturan KPU 26/2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Dewan Perwakilan Daerah, dengan nomor registrasi 65 P/HUM/2018, tanggal 25 September 2018 lalu.

"KPU bingung apakah mematuhi putusan MK atau mengikuti putusan MA. Ini di dua persimpangan jalan. KPU berdiri di tengah-tengah. Kedua-duanya saling berseberangan, karena ini dua pilihan," ujar Feri, di acara diskusi Sikap KPU dan Potensi Gangguan Pemilu Paska Benturan Putusan MK dan MA serta PTUN dalam Pencalonan Anggota DPD, di Jakarta Pusat, Minggu (18/11/2018).

Baca: Donald Trump Prihatin dengan Tragedi Kebakaran Hutan di California

Untuk itu, dia menyarankan, KPU agar memilih salah satu dari dua putusan itu.

Hal ini, karena dia menilai, dua putusan itu berbeda substansi.

Namun, dia mendorong, agar putusan MK yang dipilih.

Menurut dia, memilih putusan MK membuat KPU tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pemilu, dan putusan MK tersebut.

"Jadi ada tiga hal yang dipatuhi KPU kalau mematuhi putusan MK. UUD, UU Pemilu dan putusan MK. Sementara kalau KPU memilih jalan yang berbeda maka KPU akan menentang tiga ketentuan itu," tegasnya.

Baca: Sandiaga: Saya Keliling Indonesia, Keluhan Pedagang Sama yakni Sepi Pembeli

Di kesempatan itu, dia melihat, MA tidak memahami sifat putusan MK mengenai pengurus parpol dilarang mendaftarkan diri sebagai caleg DPD.
Padahal, berdasarkan Pasal 24 huruf c UUD 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, sifat putusan MK itu final dan bainding.

"Mau diubah mau tidak dengan sendirinya putusan itu mengikat. Kami akan bertanya kepada MA, apakah MA tidak salah memahami putusan MK," kata dia.

Belakangan, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan permohonan gugatan Oesman Sapta Odang di majelis persidangan PTUN, Jakarta, Rabu (14/11/2018) siang.

Objek gugatan OSO terkait keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU-IX/2018 tanggal 20 September 2018, Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019.

Feri menilai aneh putusan PTUN mengabulkan gugatan permohonan Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang yang menggugat SK KPU tersebut.

"Putusan PTUN juga menurut saya agak aneh, karena mengabaikan putusan MK. Putusan TUN itu meminta KPU kemudian membatalkan lalu memutuskan pembatalan SK KPU dan meminta khusus agar OSO dimasukkan dalam list dalam daftar calon tetap anggota DPD," katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini