Laporan Wartawan Tribunnews.com Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa kasus korupsi e-KTP, Irvanto Hendra Pambudi mengaku menyesal telah terseret dalam pusaran kasus mega korupsi e-KTP.
Ia pun mengaku bersalah atas perbuatannya.
"Saya mengakui bersalah dan menyesal melibatkan diri sebagai perantara atas perintah Andi Narogong untuk memberikan uang ke anggota DPR dan Diah Anggraeni. Saya khilaf karena terlena dengan janji pemberian uang dan pekerjaan," ungkap Irvanto saat membacakan nota pembelaan, Rabu (21/11/2018) di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Baca: Ketua DPR Lantik Eddy Kuntadi Sebagai Pengganti Eni Saragih
Pembacaan nota pembelaan secara pribadi dilakukan menanggapi surat tuntutan jaksa yang menuntut pidana penjara selama 12 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan pada dirinya.
Masih menurut Irvanto, ia dijanjikan uang Rp 1 miliar dan pekerjaan sebagai imbalan sebagai kurir membagikan uang panas e-KTP.
Namun, hingga dirinya duduk di kursi terdakwa, baik janji uang serta pekerjaan tidak pernah diterima.
Baca: Keponakan Setya Novanto Kecewa Dituntut Paling Berat Dibanding Terdakwa Lain dalam Korupsi e-KTP
Kini, dia malah harus menghadapi konsekuensi hukum yang berat dan mengalami penderitaan baik lahir serta batin selama mendekam di Rutan Komisi Pemberantasan Korupsi .
"Saya mohon ke yang mulia, harapan saya, kiranya saya mendapatkan hukuman yang seringannya," tambah Irvanto yang juga keponakan Setya Novanto itu.
Baca: Dituntut 12 tahun dan Denda Rp 1 Miliar, Ponakan Setya Novanto Bacakan Pembelaan
Diketahui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, yang juga mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera, didakwa turut serta melakukan korupsi proyek e-KTP yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,3 triliun.
Dia didakwa bersama-sama dengan pengusaha Made Oka Masagung. Keduanya berperan menjadi perantara dalam pembagian fee proyek pengadaan barang atau jasa e-KTP untuk sejumlah pihak.
Irvanto dan Made Oka juga turut serta memenangkan perusahaan tertentu dalam proyek itu. Atas perbuatannya, Irvanto dan Made Oka didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.