Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kembali terjaringnya hakim dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di pengadilan Negeri Jakarta Selatan membuktikan sanksi pidana tidak menakutkan.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Pujiyono, mengatakan sanksi pidana bila diibaratkan obat sudah overdosis.
"Ibarat obat over dosis sehingga tidak ampuh," ujar Pujiono kepada Tribunnews.com, Rabu (28/11/2018).
Baca: Respons Wakil Ketua Komisi III DPR Sikapi OTT KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Strategi penanggulangannya menurut Pujiono tidak hanya melalui tindakan represif pidana.
"Tetapi upaya-upaya mengeliminer faktor-faktor kriminogen dari lebih serius dilakukan tidak hanya penegak hukum. Namun juga segenap komponen masyarakat, instansi, lembaga dan kementerian harus membuat program nasional untuk mengeliminer faktor kriminogen dan menciptakan lingkungan anti korupsi," jelas Pujiono.
Selain juga reformasi birokrasi, gerakan edukasi, penanaman budaya malu juga menurut dia, harus ditingkatkan untuk membangun aparat yang berintegritas.
Baca: Tujuh Sindikat Pencurian Motor Ditangkap Jajaran Polres Metro Jakarta Selatan
Ia pun mempertanyakan soal dukungan para pemangku kekuasaan dalam mendorong gerakan antikorupsi.
"Jika belum gerakan pemberantasan korupsi membentur tembok besar dan hanya berteriak di tempat hampa. Budaya melawan korupsi harus ditumbuhkan di kalangan pengemban kekuasaan," tegasnya.
Diberitakan, KPK mengamankan enam orang dalam operasi tangkap tangan di Jakarta yang berlangsung Selasa (27/11/2018) malam hingga Rabu (28/11/2018) dini hari.
Baca: Pimpinan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Gelar Rapat Sikapi OTT KPK
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, enam orang itu terdiri dari hakim, pegawai di salah satu pengadilan negeri dan pengacara.
Khusus hakim dan pegawai, diduga berasal dari PN Jakarta Selatan.
Dalam OTT itu, KPK mengamankan uang sekitar 45.000 Dollar Singapura.