KNKT menyampaikan pesawat Lion Air PK-LQP sudah mengalami masalah tersebut sejak malam sebelumnya, saat pesawat jenis Boeing 737 MAX 8 itu terbang dari Denpasar menuju Jakarta.
Menurutnya, pesawat Lion Air PK-LQP sudah tidak layak terbang saat mengalami kendala di rute Denpasar-Jakarta, 28 Oktober 2019.
"Menurut pandangan kami, yang terjadi itu pesawat sudah tidak layak terbang," katanya.
Saat itu, kopilot mengatakan bahwa kendali pesawat terasa berat saat ditarik ke belakang (untuk membawa hidung naik).
Kemudian, pilot mengambil langkah untuk mengubah trim stabilizer ke posisi CUTOUT, gunanya mematikan sistem trim otomatis sehingga trim diatur secara manual.
Menurutnya, langkah tersebut sudah sesuai dengan rekomendasi yang dikeluarkan Boeing dan Federal Aviation Administration (FAA) setelah kecelakan PK-LQP terjadi.
Saat terbang dari Denpasar, tercatat adanya stick shaker aktif sesaat sebelum penerbangan hingga selama penerbangan.
Kecepapatan pesawat Lion Air PK-LQP berubah-ubah pada ketinggian sekitar 400 kaki.
"Menurut pendapat kami, seharusnya penerbangan itu tidak dilanjutkan," kata Nurcahyo.
Setelah penerbangan diubah ke mode manual, pesawat lion Air PK-LQP mendarat di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta setelah menempuh waktu terbang 1 jam 36 menit atau sekitar pukul 22.56 WIB.
Setelah memarkirkan pesawat, pilot melaporkan pemasalahan yang dialaminya kepada teknisi.
Keesokan harinya, pesawat Lion Air PK-LQP itu kembali diterbangkan dari Jakarta ke Pangkal Pinang.
Pesawat jatuh setelah 13 menit lepas landas dengan membawa sekitar 189 penumpang dan kru.
Nurcahyo mengatakan pemaparan tersebut hanya sekadar fakta belum sampai pada analisis dan kesimpulan jatuhnya pesawat.
Baik analisis dan kesimpulan belum dapat dibuat karena fakta-fakta belum terkumpul seluruhnya.
Saat ini pihak KNKT akan berdiskusi dengan Boeing dan FAA di Amerika Serikat untuk membahas temuan awal ini.(fidya alifa)