Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setara Institute angkat bicara terkait aplikasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) atau Smart Pakem yang diluncurkan Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta.
Peneliti Setara Institute, Bonar Tigor menganggap, Pakem bukan sekadar penggunaan aplikasi namun, kewenangan Kejaksaan yang mengkoordinir badan yang disebutnya Bakorpakem.
"Badan koordinasi pengawas aliran kepercayaan masyarakat, sudah saatnya dihapus," kata Tigor saat dihubungi wartawan, Kamis (29/11/2018).
Tigor menegaskan, negara wajib melindungi hak setiap warga negara untuk bebas menjalankan keyakinannya.
Baca: Komnas Perempuan: Kejaksaan Sebaiknya Tunda Eksekusi Baiq Nuril Maknun
"Negara tidak bisa menentukan dan mengintervensi mana agama atau kepercayaan yang sesat dan menyimpang," tambah dia.
Terkait dengan penolakan Komnas HAM, LSM yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, partai politik seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI) serta sejumlah elemen masyarakat lain yang meminta aplikasi itu dibatalkan dinilai wajar.
Karena Tigor mengklaim, lembaganya sejak awal meminta agar Bakorpakem di Kejaksaan dihapuskan.
"Posisi yang sebetulnya juga sama dengan apa yang telah lama disuarakan oleh Setara Institute," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Riset Setara Institute Halili menganggap, peluncuran aplikasi Pakem inisiatif yang buruk dari intitusi seperti kejaksaan.
Menurut dia, ada tiga hal kenapa aplikasi itu harus dibatalkan.
Pertama, aplikasi itu justru memfasilitasi kelompok intoleran untuk mengeksklusi aliran-aliran keagamaan yang ada di masyarakat, khususnya dari kalangan agama lokal dan gerakan keagamaan baru (new religious movement).
Kedua, lanjut Halili, aplikasi tersebut akan semakin menciptakan pembelahan konfliktual di tengah-tengah masyarakat.
Ia menilai, aplikasi itu akan menstimulasi pembelahan sosial keagamaan.
"Ketiga, aplikasi tersebut akan semakin memperbesar ruang viktimisasi atas minoritas, baik oleh aparat negara maupun aktor-aktor non negara," papar Halili dihubungi terpisah.(*)