News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Temui Jokowi di Istana, Nelayan Ini Pinjam Sepatu Tetangga

Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Joko Widodo berdiskusi dengan perwakilan nelayan di Istana Negara, Jakarta, Selasa (22/1/2019). Presiden dalam kesempatan tersebut meminta nelayan dan pengusaha perikanan untuk memanfaatkan Bank Mikro Nelayan dalam mengembangkan usaha. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - ‎Sekitar tiga ratus perwakilan nelayan di seluruh Indonesia, Selasa (22/1/2019) kemarin mendapatkan kesempatan bisa santap siang bersama dengan Presiden Jokowi di Istana Negara.

Demi bisa berjabat tangan hingga foto bersama dengan orang nomor satu di Indonesia, beberapa dari mereka ada yang rela membeli batik dan sepatu.

Bahkan ada pula yang meminjam batik serta sepatu milik tetangga dan anaknya.

Hal ini disampaikan langsung oleh Iim Rohimin, perwakilan nelayan di hadapan Jokowi daan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti.

"Utamanya nelayan itu tidak punya batik dan sepatu pak.‎ Ada yang pinjam dari tetangga dan anaknya. Ada juga yang datang pakai celana jins lalu dilarang masuk oleh Paspampres. Jadi maaf kalau banyak yang disita, kami mohon loloskan saja," papar Iim.

Baca: Warganet Soroti Isu Persekusi Terhadap Seorang Nelayan

Presiden Joko Widodo berdiskusi dengan perwakilan nelayan di Istana Negara, Jakarta, Selasa (22/1/2019). Presiden dalam kesempatan tersebut meminta nelayan dan pengusaha perikanan untuk memanfaatkan Bank Mikro Nelayan dalam mengembangkan usaha. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Jokowi meminta tiga orang perwakilan nelayan untuk maju, berbincang dengan dirinya.

Satu diantara nelayan yang maju bernama Agus Mulyono asal Lamongan.

"Cantrang melaut lagi, cantrang melaut lagi. Pak Jokowi yes, ke depan saya Bu Susi No. Terima kasih bapak. Ikan itu musiman pak, bukan punah karena cantrang, salah besar. Cantrang bukan alat ppunah tapi alat mensejahterakan dan ranah lingkungan," teriak Agus Mulyono dengan lantang.

Lanjut Mulyono juga menyampaikan pada Jokowi bahwa dirinya adalah seorang kepala desa merangkap nelayan.

Senin-Jumat dia menjawab kepala desa lalu sabtu dan minggu berangkat melaut.

"Saya ini nelayan merangkap kepala desa pak, tapi penghasilan tidak besar juga. Jadi saya mohon, semua nelayan butuh pembinaan, butuh fasilitas, butuh BBM, butuh pelayanan surat," ungkap Agus.

Berbeda dengan Agus, nelayan cantrang yang mengeluh-eluhkan Jokowi. Lima perwakilan nelayan asal Pulau Pari, Kepulauan Seribu tampak lesu usai diundang ke istana negara.

Ditemui Tribunnews.com usai acara‎, Sulaiman perwakilan nelayan Pulau Pari mengungkapkan kekecewaannya karena tidak bisa menyampaikan keluh kesah nelayan Pulau Pari.

Terlebih mereka berangkat dari Pulau Pari sejak subuh, lalu ke Tangerang lanjut menuju ke Istana Negara. Undangan bagi nelayan Pulau Pari pun bukan baru pertama kali.

Sulaiman mengaku sudah enam kali diundang ke istana negara. Dia merasa nasib para nelayan Pulau Pari tetap tidak meningkat dan tetap dikriminalisasi.

"‎Perwakilan dari Pulau Pari ada lima orang. Sebelum berangkat ke Istana, kami sudah diskusi apa yang mau disampaikan. Seperti soal perampasan tanah, konflik, sertifikat, sampai kami yang dikriminalisasi dan diancam digusur," terang Sulaiman.

"‎Padahal Pulau Pari jaraknya dekat dari Jakarta. Tapi tadi kami tidak bisa sampaikan langsung ke Pak Jokowi. Dulu saat beliau Gubernur Jakarta, beliau sudah pernah ke Pulau Pari. Saya juga sudah enam kali diundang ke istana, ya sama sekali tidak ada perubahan. Kami nelayan di bully, diperkarakan," ungkap Sulaiman lagi.

Diketahui koalisi Selamatkan Pulau Pari gencar menyuarakan sengketa lahan warga di Pulau Pari. Mereka sempat meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak hanya berpangku tangan. Anies diminta ikut ‎membantu warga menyelesaikan sengketa.

Sengketa di Pulau Pari terjadi akibat warga melakukan penolakan terhadap sertifikat-sertifikat yang tiba-tiba muncul atas nama perseorangan maupun korporasi pada 2014-2015. Warga yang melakukan penolakan, mengalami kriminalisasi.

Padahal berdasarkan pemeriksaan Ombudsman RI, sertifikat tersebut cacat administrasi. Total ada 62 sertifikat hak milik dan 14 sertifikat Hak Guna Bangunan di Pulau Pari yang maladministrasi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini