Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa Idrus Marham sempat mengingatkan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih supaya berhati-hati membantu mengawal proyek PLTU Riau-1.
Pernyataan itu diungkap Eni Maulani Saragih saat dimintai keterangan sebagai saksi kasus suap proyek PLTU Riau-1 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (29/1/2019).
Semula, Eni mengaku menerima perintah dari Setya Novanto untuk membantu proyek PLTU Riau-1.
Baca: Jusuf Kalla Nilai Permintaan Cak Imin Soal Jatah 10 Menteri Berlebihan
Setya Novanto memerintahkan itu pada saat menjabat Ketua Umum Golkar pada 2017.
"Saya awal memang ditugaskan pak Setnov, untuk membantu pak Kotjo," ujar Eni di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (29/1/2019).
Pada saat itu, dia menceritakan kepada Idrus Marham, sekjen Partai Golkar pada waktu itu, mengenai proyek PLTU Riau-1.
Mantan menteri sosial itu meminta Eni agar berhati-hati.
Baca: Pengamat: Rilis Caleg Mantan Napi Korupsi Sebagai Pertimbangan Pemilih dalam Tentukan Pilihan
"Itu saya selalu bicara dengan pak Idrus. Ya selalu bilang hati-hati. Hati-hati kalau ada salah. Itu saya sudah di warning soal itu," kata dia.
Namun, Johannes B Kotjo, selaku pemegang saham di proyek PLTU Riau-1, menegaskan proyek itu halal dan untuk kepentingan negara.
Eni meyakini pernyataan Kotjo soal proyek tersebut.
"Saya diyakinkan pak Kotjo bagus buat rakyat, halal," tambahnya.
Baca: Jajaki Peluang Bisnis Sektor Perikanan, Perwakilan Pengusaha Jepang akan Kunjungi Wilayah Sulawesi
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK mendakwa Idrus Marham bersama-sama dengan anggota Komisi VII DPR RI periode 2014-2019, Eni Maulani Saragih terlibat menerima uang Rp 2,25 miliar dari pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo.
Johanes Kotjo merupakan pemegang saham Blackgold Natural Resources, Ltd (BNR, Ltd).
Uang itu diberikan untuk proyek Independen Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1).
Dalam surat dakwaan itu, JPU pada KPK menyebut pemberian uang itu diduga agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.
Baca: Rebutan PSK, Oknum TNI dan Oknum Wartawan Adu Jotos
Rencananya, proyek akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd yang dibawa oleh Kotjo.
Semula, Kotjo melalui Rudy Herlambang selaku Direktur PT Samantaka Batubara mengajukan permohonan dalam bentuk IPP kepada PT PLN Persero terkait rencana pembangunan PLTU.
Tetapi, karena tidak ada kelanjutan dari PLN, akhirnya Kotjo menemui Ketua DPR RI sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Lalu, Kotjo meminta bantuan Novanto agar dapat dipertemukan dengan pihak PLN.
Baca: Terhalang Restu Keluarga BTP, Pernikahan Ahok Terancam Batal, Ayah Puput Nastiti Devi: Urusan Dia
Kemudian, Novanto mempertemukan Kotjo dengan Eni yang merupakan anggota Fraksi Golkar yang duduk di Komisi VII DPR, yang membidangi energi.
Selama perjalanan kasus ini, Eni beberapa kali mengadakan pertemuan antara Kotjo dan pihak-pihak terkait, termasuk Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Hal itu dilakukan Eni untuk membantu Kotjo mendapatkan proyek PLTU.
Di dalam surat dakwaan disebutkan, penyerahan uang dari Kotjo kepada Eni atas sepengetahuan Idrus Marham. Idrus saat itu mengisi jabatan ketua umum Golkar, karena Setya Novanto tersangkut kasus korupsi pengadaan e-KTP.
Baca: Digosipkan dengan Mantan Istri Gading Marten, Mischa Chandrawinata Ungkap Hubungannya Bersama Gisel
JPU pada KPK menduga Idrus berperan atas pemberian uang dari Kotjo yang digunakan untuk membiayai musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar. Idrus disebut meminta agar Kotjo membantu keperluan pendanaan suami Eni Maulani saat mengikuti pemilihan kepala daerah.
Atas perbuatan itu, Idrus didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.