TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga pengawas pelayanan publik, Ombudsman RI memberikan peringatan dini terkait impor pangan komoditas beras, gula, garam dan jagung.
Peringatan dini ini disampaikan untuk mengantisipasi adanya maladministrasi dan masalah terkait impor empat komoditas itu menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 2019.
"Kami pertimbangkan dalam tahun politik ini boleh jadi perhatian terhadap administrasi impor jadi lengah. Dikhawatirkan kalau tidak diawasi bersama bisa terjadi hal-hal yang sebabkan kerugian bagi banyak pihak," kata Komisiomer Ombudsman, Ahmad Alamsyah Saragih saat konferensi pers di Kantor Ombudsman, Jakarta, Senin (4/2/2019).
Alamsyah menyampaikan temuan Ombudsman berdasarkan data impor pangan sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga dibandingkan dengan jumlah impor era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pertama untuk impor beras, selama lima tahun periode kedua pemerintahan SBY, total impor beras sebanyak 6,5 juta ton. Sementara total impor selama empat tahun pemerintahan Jokowi mencapai 4,7 juta ton impor.
"Perkembangan 2018 harga beras naik sementara stok Bulog 2,1 juta ton. Pemerintah tak perlu
memerlukan impor di tahun 2019, kecuali terjadi krisis besar," saran Alamsyah.
Kedua, terkait impor gula. Pemerintah SBY mengimpor 12,7 juta ton gula pada lima tahun periode kedua, sedangkan Jokowi sudah mengimpor gula sebanyak 17,2 juta ton.
Pada 2019, Ombudsman memperkirakan masih akan ada impor gula pada jenis tertentu yang belum bisa dipenuhi oleh gula lokal.
"Dari 2015-2018 produksi lokal turun terus, warning agar impor gula di 2019 ini, verifikasi dengan cermat kebutuhaan industri jangan sampai industri yang gunakan dipasok melalui gula impor," jelas dia.
Kemudian utuk impor garam, dalam kurun waktu empat tahun (2015-2018), impor komoditas garam mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dengan total impor sebesar 12,3 juta ton, tertinggi pada tahun 2018 yang mencapai 3,7 juta ton.
Pada 2019 diperkirakan impor garam masih menjadi opsi bagi Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan industri dengan standar kadar NaCl lebih tinggi dibanding produk lokal.
Baca: Tanggapan Kapolda Kalbar soal Kasus Asusila yang Beredar
"Kami menyarankan lakukan pengetatan verifikasi berdasarkan kebutuhan industri dan lakukan audit stok terhadap yang ada. Jangan sampai (garam impor) rembes ke pasar dan sebabkan harga dari petani hancur," tegas dia.
Terakhir, terkait impor jagung. Selama pemerintahan Jokowi, jumlah impor hanya mencapai 5,7 juta ton, lebih rendah dibandingkan era SBY mencapai 12,9 juta ton.
"Penurunan drastis terjadi pada tahun 2016 karena Pemerintah membatasi impor jagung hanya 1,3 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 3,3 juta ton dengan alasan produksi dalam negeri meningkat dan sebagai upaya melindungi petani," jelas Alamsyah.
Di akhir tahun 2018 harga gandum dunia meningkat akibat gangguan panen di Australia. Impor gandum untuk pakan diperkirakan menurun menjadi 1,3 juta ton karena Rusia dan Ukraina membatasi ekspor gandum.
Kelangkaan jagung untuk pakan mengundang protes sejumlah peternak. Akibat hal tersebut, pada tahun 2019 keran impor jagung untuk pakan dibuka kembali, bahkan tanpa kuota.
"Untuk jagung segera evaluasi terhadap impor ini untuk kebutuhan, dibuka tanpa kuota juha berbahaya jadi identifikasi kebutuhannya berapa. Beberapa waktu lalu putuskan tanpa kuota itu berbahaya peringatan dini Ombudsman sarankan segera evaluasi impor tersebut pikirkan kuota di 2019," tukas dia.