TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tindak kejahatan korupsi di Indonesia saat ini sudah sangat menghawatirkan.
Kerugian negara akibat kejahatan ini bila dinominalkan ke dalam rupiah, setiap tahun rata rata di atas Rp 19,7 triliun.
Mengingat dampaknya yang sangat merugikan rakyat dan bangsa Indonesia, tindakan kejahatan ini digolongkan sebagai kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes) dengan pencegahan dan pemberantasannya juga harus extra luar biasa antara lain menggunakan undang-undang (UU) dan perangkat tersendiri.
Beberapa langkah penting yang perlu diambil untuk pemberantasan dan pencegahan tindakan kejahatan korupsi antara lain revisi UU komisi pemberantasan Korupsi (KPK). Juga perlu perbaikan kualitas Partai Politik (Parpol) sebagai salah satu sendi utama penegakan hukum dan anti korupsi.
Pembiayaan parpol oleh negara perlu di tingkatkan, tapi sanksinya bila secara sistematis terlibat korupsi adalah dibubarkan.
Hal tersebut mengemuka dalam Diskusi Seri Kedua dari rangkaian diskusi yang diselenggarakan Policy Centre (Polcen) Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) dalam rangka menyambut pemilihan presiden yang berkualitas, jujur dan adil, untuk membuat Indonesia naik kelas.
Diskusi Seri II yang dibuka ketua Umum ILUNI UI Arief Budhi Hardono ini berlangsung di gedung Rektorat Kampus UI Salemba Jakarta Pusat, kemarin.
Diskusi yang dipandu Ketua Polcen ILUNI UI yang juga direktur program Indef Berly Martawardaya ini menghadirkan pembicara antara lain, Kordinator juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Sandiaga Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi- Ma’ruf yang juga Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani, dan aktivis anti korupsi dari Indonesian Corruption Watch (ICW) Tama S Langkung.
“Salah satu tema yang kami angkat dalam Serial Diskusi Menyambut Pemilihan Presiden yang Berkualitas demi mewujudkan pesta demokrasi sebagai adu gagasan subtantif tentang permasalahan strategis bangsa ini, adalah pencegahan korupsi. Karena alumni UI yang terhimpun dalam ILUNI UI melihat tindak kejahatan korupsi amat sangat berbahaya dan menghambat pertumbuhan ekonomi, menghambat kesejahteraan rakyat sekaligus pembangunan nasional. Kami berharap semua Capres dan siapapun yang memenangi Pilpres 2019 mendatang, mempunyai komitmen yang kuat dalam pemberantasan Korupsi dan menciptkan pemerintah yang bersih sekaligus bersungguh sungguh melayani rakyat,” papar Ketua Umum ILUNI UI dalam sambutan pembukaannya.
Menurut Aktifis anti korupsi Tama S Langkun, desain KPK di tahun 2018 adalah untuk meningkatkan atau fokus di pemberantasan korupsi dengan cara operasi tangkap tangan ( OTT). Dari kepala daerah yang ditangkap, hanya 39 yang berangkat dari bukti pendahuluan (case building) dan sisanya OTT.
Analisanya menemukan bahwa dari beberapa kepala daerah yang ditangkap ada beberapa yang dalam pendampingan dari KPK sehingga belum optimal pendampingannya.
”Rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan penegakan hukum dan anti korupsi adalah penguatan regulasi diantaranya dengan ratifikasi UN Conventions Against Corruption (UN CAC), peningkatan sanksi pada pelaku koruptor diantaranya dengan perampasan aset dan perbaikan sistem lembaga pemasyarakatan,” tegas Tama S Langkung.
Wakil Ketua TKN Jokowi Ma’ruf yang juga Sekjen PPP Arsul Sani mengkritisi apa yang dilakukan KPK dalam melakukan kegiatannya pemberantasan korupsi melalui OTT. Alasanya, OTT yang dilakukan KPK lebih banyak yang korupsinya kecil. Hal ini tidak sebanding dengan biaya operasional KPK itu sendiri.
“Perlu dikritisi juga KPK melakukan banyak OTT dengan nilai suap tidak tinggi padahal anggaran per kasus di KPK adalah 400 juta,”Papar Arsul Sani.
Dari segi struktur pembiayaan, lanjut Arsul Sani, Pemerintahan Jokowi telah meningkatkan alokasi anggaran menjadi 854 milyar di APBN 2018 dari 627 miliar di APBN 2014. KPK juga perlu diberi wewenang untuk mengunakan penyidik lembaga lain.
Namun demikian, Sekjen PPP ini mendukung adanya penguatan peran dari KPK. Untuk itu, UU KPK perlu direvisi.
“Salah satu langkah penting penguatan anti korupsi adalah revisi UU KPK. Tapi untuk merespon kekuatiran masyarakat akan terjadi pelemahan KPK maka perlu diumumkan dulu hal-hal yang akan di revisi atau di tambahkan dan dijaga komitmennya,”papar alumnus FHUI tahun 1980an.
Di tempat yang sama, kordinator juru bicara BPN Prabowo-Sandiaga Uno, Dahniel Anzar Simanjuntak menyatakan, KPK perlu fokus di penindakan dengan lembaga negara lain khususnya yang dibawah koordinasi presiden untuk menguatkan pencegahan korupsi.
Selain itu juga perlu penguatan reward and punishment aparatur negara termasuk kenaikan gaji (khususnya penegak hukum tingkat menangah dan bawah) dan perberat sanksi bagi siapapun yang melanggar aturan dan melakukan tindakan korupsi.
“ BPN Prabowo Sandi mendorong KPK bekerja dengan sistem zonasi (barat tengah dan timur) sehingga meningkatkan efektivitas. Penyidik KPK tidak lagi juga berdinas di Polisi sehingga bisa fokus dan tidak terpecah loyalitasnya,” tegas Kordinator Jubir BPN Prabowo Sandiaga yang juga mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiah Dahniel Anzar Simanjuntak.
Alumni Magister Kebijakan Publik UI ini menyatakan kekhawatirannya dengan maraknya politisi lompat partai ke parpol yang memegang Jaksa Agung, agar aman dan tidak dicari cari kesalahan oleh pihak Kejaksaan.
Salah satu sebab banyaknya politisi tertangkap KPK karena melakukan korupsi adalah karena besarnya biaya politik untuk menjadi kepala daerah atau menduduki jabatan publik tertentu.
Karena itu, Parpol perlu dibiayai oleh negara, agar kegiatan politiknya tidak membebani kader-kader yang dipercaya maju untuk menduduki jabatan politik tertentu.
“Pembiayaan parpol oleh negara perlu di tingkatkan, tapi sanksinya bila secara sistematis terlibat korupsi, Parpol tersebut harus dibubarkan,” tegas Dahnil Anzar (*).