Beredarnya buku ajar sekolah yang mendeskreditkan organisasi kemasyarakatan Nahdatul Ulama (NU) baru-baru ini membuat gelisah sejumlah kalangan. Wakil Ketua Komisi X DPR RI Sutan Adil Hendra mengatakan, keberadaan sebuah lembaga atau badan sensor buku dinilai penting, mengingat kasus serupa bukan pertama kali terjadi. Bahkan kerap kali buku yang telah membuat resah masyarakat itu harus ditarik kembali dari peredaran.
Legislator Partai Gerindra itu menambahkan, sensor atau pengawasan isi konten buku bisa menjaga anak dan generasi muda dari bacaan yang tidak layak, apalagi yang membentuk persepsi tentang ormas yang sangat berperan dalam misi pendidikan membangun bangsa, seperti NU.
“Ide pembentukan badan sensor ini sangat baik. Kami kira DPR secara substantif mendukung pembentukan badan sensor buku sebagai bentuk perlindungan anak,” jelas Sutan dalam rilis yang diterima Parlementaria, Kamis (07/2/2019).
Ia mengakui, pembentukan badan sensor buku berpotensi menimbulkan pro dan kontra karena kemungkinan muncul pihak-pihak yang khawatir hal ini bisa mematikan kreatifitas. Namun, katanya, hal itu tidak perlu dipermasalahkan, karena sensor buku bukan pelarangan pada karya, tapi menjaga kaidah dan norma yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Sutan berharap badan yang dibentuk dalam kaitannya dengan sensor ini bukan sekadar formalitas. Masing-masing komponen di dalamnya harus benar-benar kompeten. Tak hanya bermodalkan kepandaian mengedit naskah, namun merupakan ahli dalam berbagai kajian. Misalkan dalam kajian psikologi anak, psikologi remaja, pendidikan karakter, nilai kebangsaan, dan lain sebagainya.
Namun di sisi lain ia bersyukur, Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Lembaga atau badan sensor buku menurutnya bisa diusulkan masuk ke dalam regulasi tersebut. “UU Sistem Perbukuan seharusnya memberi ruang adanya lembaga sensor buku, sebab pada era terbuka ini harus ada yang mengawasi buku yang beredar,” imbuhnya.
Legislator dapil Jambi itu menjelaskan, UU Sistem Perbukuan ini akan meliputi sejumlah aspek, diantaranya yakni pengawasan pada kualitas buku yang akan dibaca oleh masyarakat dan filter buku yang akan dibaca sesuai kalangan usia dan tidak menimbulkan keresahan.
Sebelumnya, publik dihebohkan dengan munculnya buku panduan belajar tematik terpadu kurikulum 2013 (K-13) untuk kelas V Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang menyebut organisasi kemasyarakatan NU, sebagai salah satu organisasi radikal.
Dalam buku tersebut, disebutkan bahwa perjuangan bangsa Indonesia pada abad ke-20 bersifat radikal terhadap pemerintah Hindia Belanda. Adapun contohnya adalah Perhimpunan Indonesia (PI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Nahdlatul Ulama (NU), Partai Nasionalis Indonesia (PNI).(*)