TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Kompartemen Kebandarudaraan Asosiasi Logistik & Forwarder Indonesia (ALFI) Satrio Witjaksono mengatakan sudah ada beberapa perusahaan logistik dan forwarding bidang perhubungan udara di Sulawesi yang menjadi anggotanya menonaktifkan karyawan outsourcing di bagian handling.
Hal itu satu di antaranya diakibatkan oleh kebijakan bagasi berbayar yang diajukan sejumlah maskapai oleh maskapai-maskapai low cost carrier (LCC).
"Belum banyak, tapi di Sulawesi sudah ada beberapa (perusahaan) yang karyawan outsourcingnya di bagian handlingnya sudah tidak diaktifkan. Tapi setiap cabang, di Surabaya misalnya sudah komplain ke kami," kata Satrio usai diskusi di Menteng Jakarta Pusat pada Sabtu (9/2/2019).
Ia mengatakan, satu di antara faktor yang menjadi penyebab munculnya polenik terkait bagasi berbayar yang berdampak pada dunia usaha logistik khususnya di perhubungan udara adalah minimnya komunikasi dari para pemangku kepentingan.
Baca: SPBU Swasta Ramai-ramai Sesuaikan Harga Bahan Bakar, Turun Hampir Rp 1.050
"Jadi kita mengambil kesimpulan pertama bahwa komunikasi antar ekosistem ini penting. Kemudian bahwa perubahan pada kreatifitas dari sisi marketing dan industrinya bisa dijembatani oleh pemerintah," kata Satrio.
Ia mengatakan, sebenarnya bagasi berbayar bukanlah persoalan baru di dunia penerbangan.
Hanya saja, bagasi maskapai yang dulu bukan merupakan prioritas lahan keuntungan bagi maskapai kini menjadi satu di antara prioritas pemasukan bagi maskapai yang ada.
Ia juga menekankan bahwa persoalan tersebut juga karena krnaikan mendadak terkait tarif tiket dan bagasi berbiaya.
"Terkait berbagai berbayar sebenarnya ini sudah lama diberlakukan. Hanya masalahnya, pertama karena komunukasi kurang baik maka mendadak ada kenaikan. Padahal di airline itu ada yang namanya tiket maupun di kargo ada yang namanya winter price ada yang namanya summer price," kata Satrio.
Menurutnya, jika hal tersebut tidak dilakukan mendadak maka hal tersebut dapat diprediksi dan diantisipasi jauh-jauh hari agar tidak menimbulkan kontraksi ekonomi.
"Mereka sudah prediksi enam bulan ke depan harganya apa. Kalau begitu ada perubahan winter price ke summer price mungkin naiknya agak jauh nggak papa juga. Tapi industri atau konsumen bisa memprediksi harga jual di lapangan. Kalau mendadak nanti akan ada kontraksi di ekonominya," kata Satrio.
Ia pun mengatakan para pemangku kepentingan akan mulai melakukan pertemuan secara intens membahas hal tersebut mulai pekan depan.
Pertemuan tersebut satu di antaranya akan membedah kembali tentang surat muatan udara dan membedah lagi biaya-biaya yang menyangkut hal tersebut.
Baca: Boni Hargens Nilai Penggunaan Propaganda Rusia Ancaman Bagi Demokrasi
"Hal yang dibahas kalau dari kami tentunya tentang surat muatan udara. Kalau bagasi berbayar ini kan bisa subtitusi dari kargonya. Artinya kita bedah lagi costnya apa saja. Jadi dari kami harus bisa berkorban untuk lebih efisien dari Airlinenya juga, mungkin dari departemen juga dari avtur. Sama-sama berkorban tapi yang penting konsumen bisa terlayani dengan baik dan ekonomi tetap jalan," kata Satrio.
Pihaknya juga akan mengusulkan tarif dan solusu jalan tengah dari sisi perusahaan logistik dalam perhubungan udara.
Namun saat ini ia belum menentukan tarif yang akan diusulkan tersebut.
Ia juga menilai usulan terkait diadakannya kembali Dewan Pernerbangan Nasional dari Pakar Penerbangan dan mantan KSAU Marsekal TNI (purn) Chappy Hakim sebagai hal yang positif.
"Saya kira itu satu hal yang positif ya karena ini terkait dengan stakeholder yang banyak. Jadi saat ini ALFI melihat saat ini masih kurangnya komunikasi antara stakeholder di ekosistem dunia aviasi. Mungkin untuk mempercepat komunikasi itu antar pihak dapat diaktifkan Dewan Penerbangan Nasional,".