News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Eksklusif Tribunnews

Syahwat Mafia Beras Jelang Pemilu

Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Foto ilustrasi.

Jika pun, dikatakan Sutarto, para pemain beras ini dikatakan mafia, saat terjadi kekurangan pasokan, maka harga beras akan terus bergerak. "Teori ekonomi saja patokannya. Supply and demand. Pasti balik lagi ke sana," imbuhnya.

Sutarto pun tak setuju soal adanya anggapan bahwa selama ini justru Bulog yang dituduh sebagai mafia beras sesungguhnya. Dirinya tak ragu untuk menentang anggapan keliru itu.

"Bulog itu tugasnya untuk menyeimbangkan dan menjaga stabilitas kebutuhan pokok negara, bukan memonopoli. Zaman sekarang enggak ada lagi istilah seperti itu, karena 90 persen beras yang mengedarkan pun para pengusaha beras. Bulog itu hanya 10 persen, itu pun sudah bisa menstabilkan harga," ujarnya.

Ia juga menolak anggapan Bulog sebagai mafia beras karena memang Bulog mewakili negara dalam hal apa pun terkait dengan kebutuhan barang pokok, termasuk beras.

"Bulog harus punya produksi dalam negeri supaya harga tidak jatuh pada saat panen raya atau pada saat produksi di bawah kebutuhan. Petani jadi tidak rugi dan jika saat produksi di bawah kebutuhan, Bulog bisa mengeluarkan stoknya, baik untuk operasi pasar, bencana alam, maupun bantuan pangan untuk masyarakat kurang mampu," kata Soetarto.

Bulog sebagai penyeimbang lain yang dimaksud Sutarto yakni bagaimana Bulog bisa melihat situasi di pasar, kapan harus menjadi pesaing, kapan harus menjadi mitra bagi para pemain beras.

"Pada saat pasar kurang, Bulog juga bisa memberikan operasi pasar kepada pelaku bisnis beras yang ada," ujarnya.

Sutarto menjabat sebagai Dirut Bulog periode 2009 hingga 2014. Saat itu, dia membuka seluas-luasnya keran bagi para pengusaha beras untuk dijadikan mitra Bulog. "Kita ajak semua untuk gabung jadi mitra, yang besar dan yang kecil. Jadi dengan itulah kita itu menutup kemungkinan soal adanya yang disebut tadi itu mafia beras,"  katanya.

Istilah 'Jaringan Semut' pun ia pakai untuk kebijakan tersebut, yang kemudian sebutan lain muncul kepada dirinya: Jenderal Semut. "Yang kecil-kecil itu boleh tanpa jaminan bank, tapi yang besar harus ada jaminan bank, karena kita harus memperlakukan pemain beras ini sesuai dengan kemampuannya masing-masing," katanya.

Harga Beras

Tribun Network memantau psar beras di Jakarta. Akhir tahun 2018 hingga awal tahun 2019, harga beras memang naik. Akhir Januari, harganya mulai turun. Subur, pedagang beras di Pasar Rawamangun, mengatakan beras yang dijualnya ke pembeli merupakan jenis premium.

Adapun harga yang dipatoknya yakni Rp 11.000 -  Rp 12.000, padahal seperti diketahui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 9.450. Dia mengaku harga baeras sempat naik Rp 1.000 per kilogram.

"Di sini saya enggak jual beras medium. Ini juga harga beras naik dari Desember. Lumayan naiknya sampai Rp 1.000," ujar Subur.

Meski demikian, dikatakan Subur, harga beras yang dijualnya mulai turun pda awal akhit Januari Februari 2019, sebesar Rp 500. Penurunan tersebut tak diketahui Subur apa penyebabnya. "Saya ikuti harga pasar saja. Lagipula di sini yang beli rata-rata memang untuk menengah ke atas," kata Subur.

Uwi (45) pemilik usaha beras PD Sumber Mustika Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, menjelaskan memang pada akhir tahun 2018 harga beras premium berada di kisaran Rp 12.000.

"Tapi Januari ini harga beras mulai mengalami penurunan, sekitar Rp300-500. Jadi yang beras premium sekitar Rp11.700-11.500," kata Uwi.  (tribun network/amryono prakoso/deni reza)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini