TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Muhammad Sarmuji, mengungkapkan peluang Idrus Marham maju sebagai ketua umum Partai Golkar di Munaslub Desember 2017, kecil.
Hal ini diungkapkan saat memberikan keterangan sebagai saksi di persidangan kasus suap proyek PLTU Riau-1 yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Selasa (12/2/2019).
Di persidangan, Idrus Marham diberikan kesempatan memberikan tanggapan terhadap pernyataan Sarmuji.
Mantan sekretaris jenderal Partai Golkar membenarkan hal tersebut.
"Dan benar saya ingin sampaikan peluang memang tidak ada. Menunggu restu," kata Idrus Marham di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Selasa (12/2/2019).
Baca: Putar Rekaman Percakapan Eni dan Sofyan Basir, Terdengar Kalimat Penting untuk Idrus Marham
Lalu, ketua majelis hakim menanyakan kepada mantan menteri sosial itu apa yang dimaksud dengan 'restu'.
"Minta restu. Restu kepada siapa?" kata Hakim Yanto.
Idrus Marham menjelaskan, restu itu adalah memperkuat koalisi pemerintah di bawah pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Dia mengaku tidak mendapatkan restu, karena pada Pilpres 2014 lalu, tercatat sebagai ketua koalisi merah-putih yang mengusung Prabowo Subianto-Hatta Radjasa.
"Saya sebelumnya adalah ketua koalisi oposisi. Koalisi merah-putih. Dalam rangka memperkuat koalisi pemerintah. Jadi kalau saya, mungkin tidak," kata dia.
Di kesempatan itu, dia menjelaskan, mengenai posisi sebagai pelaksana tugas ketua umum Partai Golkar yang dijalankan sejak 21 November-13 Desember 2017
Menurut dia, pelaksana tugas (Plt) ketua umum Golkar waktu itu melaksanakan tugas teknik yang dijalankan ketua umum.
Selama menjabat sebagai plt, dia berupaya supaya proses pergantian pimpinan di partai itu berjalan sesuai prosedur dan tidak ada kudeta.
"Pada waktu itu sudah banyak mau kudeta Setya Novanto. Dan, saya secara moral bertanggungjawab kepada partai ini. Kenapa? karena saya yang merasakan 2 tahun konflik dan saya bertanggungjawab. Saya tak ingin ada tradisi kudeta," tambahnya.